oleh

Politik Identitas: Kontrol Sosial di Era Digital

Oleh Mario Gonzaga Afeanpah

Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mndira Kupang

KEMUDAHAN akses media informasi dan komunikasi kini menjadi faktor pendorong munculnya gerakan kolektif masyarakat. Kehadirannya bergerak secara masif dan tiba-tiba, baik skala nasional maupun internasional. Melalui internet, beragam komunitas masyarakat kini sangatlah mudah terbentuk. Di era informasi dan media yang serba digital, gagasan berbeda sering kali lebih mudah berkembang menjadi satu wacana serta persepsi baru di masyarakat. Kerja sama serta kolaborasi dari berbagai elemen masyarakat lintas negara dengan mudah mendorong munculnya konsensus atau kesepakatan untuk bergerak bersama.

Pelaksanaannya adalah terbentuk melalui persepsi, keyakinan dan nilai bersama individu–individu di dalamnya. Individu maupun kelompok individu memiliki kesempatan yang luas untuk melakukan berbagai langkah inisiatif melalui komunitas virtual. Aktor-aktor individu, komunitas sosial maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan cepat muncul sebagai gerakan sosial.

Hadirnya gerakan komunitas sosial, politik, keagamaan dan lain sebagainya yang dilandasi oleh adanya keyakinan atas gagasan tertentu merupakan imbas dari kemudahan digital yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Komunitas ruang publik tanpa batas inilah yang kemudian mendorong tumbuh berkembangnya identitas sosial kemasyarakatan. Identitas merupakan domain utama dari perspektif atau cara pandang konstruktivisme.

Dalam kajian ilmu sosial dan politik khususnya, konstruktivisme merupakan kajian yang mulai banyak berkembang seusai Perang Dingin tahun 1990. Studi ini sebelumnya lebih banyak didominasi oleh pandangan atas keberadaan aspek yang lebih bersifat materialis dan rasionalis. Dalam artian bahwa aspek sosial dan politik banyak dipahami dari hitungan untung rugi secara material. Hal itu nampak pada teori-teori klasik seperti realisme, neo-realisme, positivisme, liberalisme dan neo-liberalisme.

Sebaliknya, konstruktivisme tidak melihat aspek material sebagai sudut pandang utamanya. Nicholas G. Onuf (1998) melalui tulisan yang berjudul International Relations in a Constructed World, menyebutkan bahwa konstruktivisme merupakan cara pandang dalam melihat dunia beserta aspek materi di dalamnya adalah dipandang sebagai sebuah struktur sosial. Secara epistemologi, struktur tersebut terlahir karena adanya interaksi dan sosialisasi saling mempengaruhi di antara para aktor sosial yang terlibat di dalamnya. Adapun secara ontologis, konstruktivisme mendefinisikan bahwa realitas maupun fakta material yang terjadi adalah terbentuk dari keberadaan faktor-faktor non-material.

Legitimasi dan Pengakuan Sosial

Konstruktivisme memandang bahwa aspek non-material seperti norma dan nilai bersama sangatlah penting. Sebab, hal itu mendasari terjadinya suatu konsensus bersama. Bagi masyarakat dengan budaya Timur khususnya, faktor-faktor non-material yang sering kali tidak tertulis, yakni norma dan nilai kebijaksanaan (wisdom) justru memiliki peran signifikan. Penilaian baik-buruk serta benar-salah atas suatu peristiwa yang terjadi juga menyesuaikan dengan pemahaman masyarakat luas.

Pandangan tentang objektivitas dunia material juga didasarkan atas persepsi umum yang wajar dan bisa diterima secara umum (common sense). Meskipun demikian, proses tersebut kini sering kali melahirkan suatu pandangan normatif yang kemudian mendorong perilaku masyarakat.

Dalam realisasinya, konstruksi atas persepsi bersama nampak pada bentuk simbol-simbol yang menunjukkan identitas individu maupun kelompok individu. Simbol identitas di sini bisa berupa gambar maupun narasi kata-kata tertentu. Setelah terbentuk persepsi bersama, masyarakat akan terdorong untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Simbolisasi identitas dimaksudkan untuk mendorong keterlibatan para aktor sosial lain secara masif.

Di era informasi digital, pembentukan kesepahaman atas suatu peristiwa tertentu akan cepat berubah, serta dengan mudah membentuk persepsi bersama. Oleh sebab itu, persepsi atas simbolisasi norma dan nilai bersama berjalan secara dinamis seiring dengan mudahnya akses informasi di era globalisasi. Hal itu terjadi karena interaksi terus-menerus yang terbentuk melalui komunitas virtual berkembang secara cepat.

Simbol identitas dalam memahami realitas di masyarakat tidak selamanya bertumpu pada objektivitas yang sama, sehingga simbol-simbol identitas juga berubah dari waktu ke waktu. Sebagai upaya membangun sebuah struktur sosial, individu maupun kelompok individu merupakan aktor penentu terbentuknya persepsi terhadap simbol identitas.

Keterbukaan akses media sosial dan informasi melalui internet kini menjadi bagian yang strategis guna mengkonstruksikan pemahaman bersama tersebut. Struktur sosial yang dihasilkan melalui interaksi virtual terus diupayakan untuk menjadi persepsi dan kesepahaman bersama. Aktor sosial juga cenderung akan mengikuti persepsi publik yang terus berkembang.

Konstruktivis memandang bahwa hal tersebut merupakan bagian dari sistematika penyesuaian dalam proses penguatan struktur sosial. Pandangan dan preferensi bersama melalui simbolisasi visual maupun narasi atas suatu peristiwa merupakan bagian sistematis dalam upaya menguatkan legitimasi sosial yang luas dari masyarakat. Legitimasi serta pengakuan sosial yang kuat dari masyarakat luas, sebagaimana diungkapkan oleh Ian Hurd (1999) melalui tulisan berjudul Legitimacy and Authority in International Politics, merupakan tujuan dari politik identitas.

Kompatibilitas Identitas

Maraknya isu politik identitas kini sangatlah sulit terelakkan seiring dengan kemudahan akses media informasi dan komunikasi melalui internet. Persepsi masyarakat dalam memandang realita sosial yang terjadi juga menjadi sangat beragam. Politik identitas yang banyak terjadi atau dimainkan di ruang publik seolah bergerak secara natural, dan bahkan cenderung kurang disadari oleh masyarakat luas.

Adanya keyakinan atas gagasan dari munculnya simbolisasi identitas tertentu dengan mudah berubah menjadi opini bersama. Masyarakat akan tergerak oleh persepi publik yang diopinikan secara terus-menerus. Aktor sosial, politik maupun juga tokoh agama sering kali berperan (mengambil peran) penting. Melalui narasi serta simbol identitas, aktor-aktor tersebut terus berupaya untuk mendapatkan legitimasi kuat di ruang publik.

Perbedaan pandangan politik maupun isu-isu, yang bahkan tidak terkait langsung dengan realita sosial, juga sering dikaitkan sebagai upaya untuk membangun persepsi. Penguatan legitimasi serta pengakuan sosial atas simbol dan narasi identitas secara persisten akan mendorong munculnya pemahaman bersama dalam membentuk politik identitas. Semakin kuatnya politik identitas, masyarakat juga akan terdorong untuk ikut berpartisipasi sebagai bentuk adanya kesadaran kolektif bersama.

Media sosial dan komunikasi berbasis internet memainkan peran yang sangat vital dalam upaya untuk merekonstruksi politik identitas. Dalam skala luas, politik identitas akan menguatkan legitimasi satu kelompok individu atas kelompok lainnya. Di dalam negeri misalnya, kecenderungan politik identitas banyak berujung pada dikotomi atau pemisahan pandangan kolektif yang banyak menimbulkan gesekan sosial di masyarakat.

Pandangan terkait kita dengan mereka, di dalam dengan di luar, anti-NKRI dengan pro-NKRI serta berbagai aspek pembeda lain sering kali kita jumpai. Perbedaan persepsi tersebut telah banyak mengakibatkan tindakan kekerasan, intoleransi serta konflik horizontal di tengah masyarakat.

Pemilihan kepala daerah, anggota legislatif serta pemilihan presiden secara langsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini jelas telah menunjukkan bagaimana narasi publik banyak bersinggungan dengan politik identitas. Masyarakat yang bahkan tidak terlalu memahami isu sebenarnya, akan mudah tergerak untuk ikut berpartisipasi.

Identitas Kolektif di Era Digital

Perbedaan identitas merupakan sesuatu hal yang nyata terjadi (given), sehingga keberadaannya adalah suatu keniscayaan yang harus tetap dirawat. Namun demikian, politik identitas dengan perbedaan identitas adalah dua hal yang berbeda. Politik identitas merupakan hasil dari sosialisasi dan interaksi terus-menerus yang bertujuan untuk mendapatkan legitimasi serta pengakuan sosial luas dari masyarakat.

Sedangkan perbedaan di antara identitas kolektif merupakan realitas yang memang sudah ada di masyarakat. Kompatibilitas atau titik temu dari perbedaan identitas kolektif di sini bukan berarti penyamaan identitas. Akan tetapi lebih pada upaya untuk mencari kompatibilitas norma dan nilai bersama sebagai sebuah entitas kelompok, bangsa dan negara.

Langkah ini diperlukan untuk menjembatani kepentingan yang lebih luas. Pemahaman tentang kita sebagai sebuah entitas masyarakat dan bangsa khususnya, menjadi bagian penting untuk bisa saling menghargai antara satu kelompok sosial dengan kelompok lainnya. Saat ini, kita berada di tengah lingkungan dimana gesekan-gesekan sosial masih kerap terjadi.

Masyarakat cenderung kurang, atau bahkan tidak memahami tentang kita sebagai bagian dari entitas besar, yakni berbangsa dan bernegara. Langkah inisiatif bersama, serta kemampuan para aktor sosial dalam melakukan internalisasi sebuah narasi kebangsaan menjadi hal yang perlu terus ditingkatkan.

Peran kolektif dari berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan guna menemukan titik kompatibilitas bersama. Hal yang bisa diupayakan adalah dengan cara mengadakan dialog kebangsaan. Tidak serta-merta terpancing dengan labelisasi dan justifikasi terhadap kelompok atau komunitas yang terkesan berbeda.

Tujuannya adalah sebagai upaya menanamkan nilai-nilai luhur dan kearifan kita sebagai elemen penting kehidupan berbangsa serta bernegara. Selain itu, langkah inisiatif kecil di era digital saat ini juga mungkin dilakukan oleh aktor individu melalui jaringan internet. Dengan munculnya beragam partisipasi kolektif langsung dari masyarakat, maka kompatibilitas identitas bersama sangatlah mungkin diwujudkan.

Langkah kecil tersebut sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, hal itu sangat mungkin bisa menjadi unsur penengah dalam menjembatani perbedaan politik identitas. Kemudahan akses informasi digital melalui internet yang tanpa batas tentu menjadi tantangan sekaligus peluang. Para aktor sosial harus lebih mampu menarasikan norma dan nilai kita secara dinamis serta kompatibel dengan perkembangan zaman.

(*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *