Refleksi Kritis atas Banjir Bandang di Adonara, Flores Timur

Opinidibaca 259 kali

(Sebuah Catatan Pinggir dan Harapan Bersama Menuju Ke “Human Central”)

Oleh Lasarus Laga Letek Ama, S.E.,M.M

Menalar Tuhan Dalam Bencana Adonara: Sebuah Kegelisahan Manusia Tercipta

Kosmos terjadi melalui perkawinan suci antar unsur-unsur purba yang bertentangan, yang justru dalam kebersamaan dan pertentangan antar mereka membentuk kosmos yang merupakan harmoni dengan berbagai tegangan dan pertentangan di dalamnya. Seluruh kosmos, termasuk dunia, diatur oleh adat, suatu peraturan kudus atau ilahi yang dituruntemurunkan. Dari intisari ini, berhadapan dengan bencana yang mengguncang Adonara setahun lalu mengejawantahkan bahwa di satu pihak ada kosmologi, pandangan tentang dunia yang ada dari warisan budaya asli.

Merunut lebih jauh bencana yang terjadi di Adonara bukanlah sebuah perkara mudah untuk mengelaborasi bentuk kosmologi yang sesungguhnya. Pada dasarnya pandangan tentang dunia tempat kita hidup dan berkarya adalah pewarisan atas budaya yang diturunkan serta perkawinan suci Ilahi, tempat Allah berkarya dalam diri manusia. Bukan tidak mungkin, masyarakat berbudaya mengkreasi tatanan kehidupan yang harmoni, sebagaimana Allah menghendaki dan budaya mengajarkan. Inilah dua aspek penting yang mesti dikaji lebih transformative bagi manusia sebagai insane berbudaya dan beragama. Apakah bencana Adonara adalah murni sebagai tamparan adat istiadat atau teguran Tuhan?

George Kirchberger dalam Allah Menggugat, menarasikan sebuah model pemahaman tentang kedua rumpun analisis di atas dengan mengungkapkan bahwa dunia sungguh duniawai dan Allah bersifat transenden terhadap dunia; tidak ada hubungan alamiah antara Allah dan dunia. Hanya firman, pengungkapan kehendaknya, menghubungkan Allah dan manusia.

Maka dalam kontekstualisasi bencana Adonara, aspek imanen dan jasmaniah adalah dua kutub paling “mesrah” untuk disandingkan. Di satu pihak, bencana Adonara adalah bukti dari ketidakberdayaan manusia. Ketidak berdayaan ini Nampak dalam ketidakmampuan manusia untuk menjaga dan merawat Alam tempat Ia hidup, juga di lain pihak adalah bentuk gugatan Allah kepada manusia untuk lebih menghargai apa yang tercipta dengan mencipta. Tercipta dengan mencipta seyogyanya menempatkan manusia sebagai sentral analitik fundamental, bahwasannya manusia tercipta untuk mencipta, bukan merusak atau mencederai alam.

Hemat penulis, bencana Adonara tidak hanya dapat disandingkan dengan peran kemahakuasaan Allah tetapi juga menempatkan peran manusia dalam tatanan kehidupan. Bencana Adonara menjadi bukti adanya dialog bisu dan tidak sadar antara dunia dengan penciptanya yang memperoleh puncaknya di dalam diri manusia. Manusia ditetapkan sebagai tuan atas hidup dan entitas substantive keberadaan dunia. Allah mengambil sebuah keputusan menjadikan manusia sebagai partnerNya.

Bahwa Allah menciptakan manusia sebagai pribadi , yang dapat berdialog dengan Allah secara sadar adalah hakikat terberi dan afirmatif. Hal ini dapat ditemukan dalam banyak agama, bahwa manusia diciptakan untuk melayani dewa, terutama lewat kurban dan kultus. Sedangkan menurut Kitab Suci Yahudi – Kristen, manusia diciptakan dan ditetapkan untuk membudayakan bumi dan menguasainya.

Sekilas dapat dilihat dalam praksis bahwa pernyataan di atas mesti hati-hati dipahami. Posisi sentral manusia sebagai tercipta dan diberikan kekuasaan untuk merawat alam ciptaan justru memunculkan dikotomi dan berujung pada sesat pikir. Saat ini banyak terjadi pengrusakan alam oleh manusia. Manusia merusak lingkungan hidupnya dan “memperkosa” perannya sebagai partner Allah. Inilah budaya masif yang ada di setiap realitas yang ditemukan. Karena peran ini, manusia menelanjangi dirinya dengan peran yang subversive dan menampakkan dekadensi moral yang absurd lagi kabur.

Mendiagnosa Kearifan Lokal Adonara Sebagai Ekologi Transformatif Menuju Rekonsiliasi Dengan Alam

Nilai-nilai lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam kesadaran masyarakat. Nilai-nilai tersebut berfungsi dalam mengatur kehidupan mulai dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai profan. Menurut Koentjaraningrat , nilai-nilai budaya lokal dalam ranah kebudayaan dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti; ide, gagasan, nilai, norma, dan perarturan. Sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sisitem religius, sistim dan organisasi kemasyarakatan, sistim pengetahuan, sistim mata pencarian hidup, dan sistim teknologi/peralatan. Nilai budaya lokal dalam kajian ilmu sosial lebih popular dikenal sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang maknannya dapat dipahami sebagai gagasan setempat/lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Selanjutnya, kearifan lokal lebih menekankan pada kemampuan positif dari nilai-nilai kehidupan hakiki yang dimiliki, diyakini dan biasanya masih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh masing-masing masyarakat. Modal sosial adalah bagian dari kearifan lokal yang didefinisikan sebagai sekumpulan sumber daya potensial dan aktual yang dimiliki dalam hubungan individu di dalam komunitasnya dan jaringan tersebut bertahan lama. Bentuk-bentuk kearifan lokal menurut) dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam.

Dalam kesiagaan bencana di Adonara, dapat diharapkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi early warning system yang andal dibandingkan alat-alat termodern saat ini. Itu tak lepas dari masyarakat dan pemerintahnya yang tidak meninggalkan kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam.

Salah satu ekologi yang menjadi wawasan budaya orang Adonara dimulai dengan menyebut Tuhan ; Tuhan rera wulan ina guna tanah ekan sebagai unsure tertinggi. tentunya dalam antropologi agama hal ini menjadi kekhasan Budaya untuk menyebut unsure tertinggi, Allah yang mencipta. Ada dua makna simbolik yakni kemahakuasaan Bapa dan Kemuliaan Ibu bumi. Semua orang terpanggil untuk mencintai unsure ini dengan mengkultuskan spiritualitas, mengekalkan jiwa untuk menghormati bapak pencipta dan ibu bumi. Karakter dasar ini hendaknya menjadi ruang terciptanya kebebasan “dari” dan bukan kebebasan “untuk”. Tanggungjawab etis moralitas orang Adonara ini seharusnya menjadi jiwa luhur, tiang penyanggah.

Selain itu, orang Adonara khususnya meyakini keberadaan tetuah adat, sebagai representasi kehadiran wakil tertinggi dalam masyarakat. Apa yang dikatakan oleh tetua adat ; “Koda” menjadi intisari giat geliat aktivitas masyarakat. Dalam bahasa Adonara disebut “mehen bele lewo tuan tanah, mehen bele suku”. Biasanya keturunan penguasa kampong akan memberi petuah dan apa yang menjadi perhatian bersama sebagai sebuah tatanan normative adat untuk ditindaklanjuti. Nampaknya kualitas ini kadang terabaikan, dan orang sibuk mencari jati dirinya pada bejana modernism dan globalisasi, menghamba pada tuan teknologi. Kehadiran tetua kampong ini menggarisbawahi sebuah kekuatan besar masyarakat Adonara untuk selalu menjaga jati diri dan identitas kesukuan maupun tradisinya.

Berhadapan dengan bencana biasanya akan dibuat rekonsiliasi alam yang oleh orang Adonara disebut “lepeh ele lait nalan”, sebuah makna mendalam akan arti penting menjaga keseimbangan semesta. Hemat penulis, “lepeh ele lait nalan” mesti selalu dibuat setiap ada kejadian yang janggal terjadi. Kultus ini suci dan mendayakan sebuah transformasi kebaruan dalam relasi sosial. Ini harus dipupuk dan direkomendasikan sebagai intisari budaya yang hidup. Bencana Adonara adalah ruang berbenah, mencari titik sentral keesaan adat istiadat untuk kembali hidup dalam kebahagiaan.

Kearifan lokal ini merambah jadi seruan profetik yang bisa saja dievangelisasi menjadi kekuatan yang militansinya teruji dan terbukti kualitasnya. Oleh karena itu, bencana Adonara harus pula melihat kesenjangan dari kearifan lokal yang tertinggal untuk dibudidayakan, disemai jadi pohon kehidupan, tentunya dengan buah penuh kebaikan. Kearifan budaya lokal ini mesti diejawantahkan ke seluruh pelosok kehidupan generasi, diperkuat kultusnya sembari menakar alam dengan kesucian, keterberian dan netralitas.

Alam akan menjadi tempat diam, rumah yang indah untuk dihuni. Agama dan kebudayaan mesti sejalan dan tidak separatis apalagi mengabaikan salah satunya. Wacana iman dan kebudayaan ini adalah ruang belajar yang potensial mengancurkan gelagat dekadensi moral anak bangsa. Manusia harus kembali ke akar, meramu kearifan lokal yang ada untuk mitigasi bencana sejak dini.

Solusi Alternatif, Rekomendasi dan “Budidaya” Spiritualisme

Jika dirunut, kondisi lingkungan hidup saat ini menjadi masalah krusial. Secara analitis-logis-rasional hal tersebut adalah konsekuensi logis dari sikap, cara pandang, dan perilaku manusia yang memandang alam secara teknis ekonomis. Krisis lingkungan hidup global saat ini dilansir akibat dari paradigma abal-abal masyarakat dalam memandang realitas empiric yang ditopang oleh pilar teknologi. Hal ini memunculkan domain dan cara berpikir baru yang mengutamakan konsumtif daripada input yang berfaedah.

Pada tataran praktis situasi Adonara yang dilibas banjir bandang tidak dapat disangsikan sebagai nadir kegelisahan serentak kehilangan piranti nilai manusia. Menjadi kegelisahan saat ini bahwa nokta hitam peradaban budaya setempat menjadi runyam dengan kehadiran bencana. Inilah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan demi generasi dan bagi budaya yang paten.

Mengapa harus menjadi kegelisahan ? Pertanyaan ini menjadi sebuah kilas balik reflektif yang harus menjadi starting point pengembangan kesadaran manusia. Sedangkan pada tataran pragmatic tentu tidak bisa lepas dari prinsip filosofis tentang alam dan kultur seputar alam. Manusia umumnya dan publik Adonara khususnya mesti memiliki filosofi yang tidak hanya menjadi jargon semua, tetapi menjadi pengikat yang mempersatukan. Di sinilah tanggungjawab etis setiap generasi dipertaruhkan.

Hemat penulis, sudah saatnya filterisasi kepada rasio teknologi dan perkembangan zaman menjadi substansi sampaian kepada generasi. Penghambaan kepada teknologi tidak harus memanjakan mata batin dan sikap kritis. Karena itu, senada Skolinowski, orang Adonara khsususnya mesti membentengi diri dengan membangun spirit palang merah, bukan palang pintu.

Ini artinya public Adonara mesti membangun kesigapan sebelum bencana ketimbang pasca bencana. Generasi Adonara harus dipersiapkan di segala lini kehidupan untuk melihat bencana yang menimpa di medio lalu sebagai garansi mahal untuk meminimalisir ledakan bencana di masa depan. Karena itu, Skolinowski memperkenalkan sebuah paradigm berpikir baru yang disebutnya eco-philosophy. Artinya, public Adonara mesti melihat alam secara spiritual-rohaniah dengan mengembangkan pembentengan diri kepada dunia yang cenderung mekanistik – reduksionistik. Harus ada revitalisasi nilai kehidupan dan dan mengubah orientasi. Inilah habitus baru yang mengeliminasi kegelisahan jadi berkat dan bukan kutukan.

Pemulihan alam, rekonsiliasi yang sudah dan sedang dibuat orang Adonara adalah rekonsiliasi berkelanjutan, tidak semu dan tidak setengah-setengah. Orang Adonara rasanya telah ditobatkan untuk kembali menimba hal baru, mengukuhkan kecintaan dalam rumah diam mereka. Ada sebuah syair rekonsiliasi yang seharusnya menggugat telinga , hati dan batin orang Adonara : “buta bête walan mara, tanah tawan ekan gere,ile doi woka tawan. Tubak tana poe lewo,belo dua tetak tale epa kowo, ti mai maan mula nuba ada nara, hone lewo wanin tanah maan lewo ne mege, tana nen taa. Tanah guna ekan dewa rae nein soron mei worak raen sama gole sama bue. Ra tibu tawan ekan dewhan, nein soron wai wulun woka lema gole wolo pito bue ti taan bohu taan seba. Gere hodan teti lolon sampe taan mara kekok, lodo ola lali puken sampe taan korak kotok. Naku iuket ake tai tegelupan matiket ake tai tegelabo, taan hogo dei ti tai mula olah duli lali tai adan nawan pali weli ti lolon gere gapu gapak kelen teti na puhun tewe riok. Sare soron tite sare-sare sampe naan nuan tutun musim labot”

Syair ini sejatinya adalah ungkapan pemulihan atas alam, sebuah kebaruan jiwa. Rekonsiliasi bukan berupa pelenyapan melainkan sesuatu yang melampaui perbedaan. Inilah dunia dibalik teks Kitab Suci yang sesungguhnya menjadi bara kagum yang menyulut api pengharapan bagi orang Adonara.

Relasi Sosial Pasca Banjir Adonara: Sebuah Ungkapan Terima Kasih

Media memperlihatkan dengan jelas banjir yang melanda Adonara, di Kabupaten Flores Timur sebagai bencana bersama. Hal ini dapat dilihat dari sumbangsih pemerintah dan masyarakat secara nasional. Inilah bukti kepedulian yang harus diacungkan jempol. Pelbagai bantuan datang sebagai solidaritas kemanusiaan yang mengetuk pintu hati sesama atas tragedi penuh air mata.

Publik adonara khususnya dan nasional pada umumnya telah membumikan apa yang disebut “Alter ego” ; relasi mahaluas “aku-engkau”, sebuah litany dari epifani wajah korban. Ada kegelisahan dan kepedihan yang merobohkan prasangka dan menjebol jeruji egoisme. “Penderitaan Adonara, adalah penderitaanku”, sebuah sajak langkah yang mungkin tidak ditemukan di belahan dunia manapun. Bahkan Presiden Jokowi, sang “humanis” membuka tabir baru dengan datang mengunjungi Adonara, melihat dari dekat rakyatnya yang meraung menagis di belahan Timur bentangan Khatulistiwa ini. Pengalaman traumatis yang dialami orang Adonara adalah cerminan kasih, buah dari kesadaran metafisis, hati nurani. Gugatan ini adalah gugatan istimewa yang merangkai perbedaan jadi satu cawan penuh anggur kehidupan, penuh cinta dan belarasa.

Bala bantuan yang datang, tenda perkemahan untuk para pengungsi, letupan bunyi kasih sayang sungguh membombardir khalayak banyak untuk tidak hanya tegak berdiri di atas singgasana kekuasaan tetapi terjun dan turun “ke bawah”. Inilah spiritualitas dan kesadaran historis kolegial manusia berbudaya.

Rentetan peristiwa kasih sayang dan bantuan ini telah melawat duka jadi tawa, air mata jadi riang, dan penderitaan jadi kebahagiaan. Tentunya ini menjalin benang – benang kusut dan membentuk kenangan sebagai diskontinuitas. Memori yang dirawat di dalam public orang Adonara pasca banjir bandang sejatinya akan mengandung nilai yang transformative, bahwasannya kenangan akan kepedulian sesama membekas dan menjadi titik nadir pengharapan untuk selalu mengedepankan relasi sosial. Inilah nilai positif yang merongrong public Adonara untuk selalu “gemohing”- kerja bersama, bahu membahu, menghilangkan ego untuk menata masa depan yang lebih baik. Bencana sejatinya adalah ajakan untuk merevisi, mereview kembali kekurangan yang sudah dilakukan di waktu lalu.

Dalam memoria terjadilah peleburan masa lalu dan masa sekarang, dalam kenangan terjadi kesekarangan (jetzeit) sebagai pemberhentian. Di sini, masa lampau hadir dalam masa sekarang. Kalau demikian maka memoria bukan ikhwal tenggelamnya kita dalam arus waktu yang mengalir dari masa lampau ke masa depan melewati masa sekarang. Di dalam memoria hadir masa depan sebagai momen pembaharuan. Publik Adonara akan melihat bantuan yang diberikan sebagai esensi keterberian yang sungguh, bahwa merawat kenangan akan semua yang telah memberi adalah fondasi kokoh persatuan dan kesatuan. Kebersatuan inilah yang akan merajut memori sebagai “marwah” yang hidup. Terima Kasih untuk semua!

(*)

Download aplikasi Android RakyatNTT.com sekarang untuk akses berita lebih mudah dan cepat, klik https://rakyatntt.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *