oleh

Eksplorasi Budaya Lembata, Bele Raya Lewuhala Tolak Ritual Hude Ili

Lewoleba, RNC – Tokoh muda Lewuhala, Aloysius Bagasi Halimaking menolak pelaksanaan ritual adat Hude Ili yang direcanakan Pemerintah Kabupaten Lembata, sebagai salah satu ritual dalam pelaksanaan Program Eksplorasi Budaya Lembata, di Desa Jontona, Kecamatan Ili Api Timur, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Aloysius yang juga sebagai penerus keturunan Raya (Pemimpin adat-Lamaholot, Red) Lewuhala, menyampaikan penolakannya melalui siaran pers yang diterima media ini, Sabtu (29/1/2022).

Dalam siaran persnya, Aloysius Bagasi Halimaking menjelaskan, ritual Hude Ili merupakan ritual yang hanya bisa dilakukan apabila terjadi kemarau panjang, serangan hama pada tanaman pertanian, juga bencana. Sementara itu, kondisi iklim dalam musim tanam tahun 2021/2022 adalah musim baik, juga tidak terjadi ancaman hama tanaman apapun.

“Kalau berkaitan dengan bencana erupsi dan banjir bandang tahun 2020/2021 yang lalu, masyarakat adat Lewuhala di Desa Jontona telah menggelar ritual adat,” ungkap Bagasi Halimaking.

Namun jika pemerintah berniat untuk melaksanakan ritual adat di Jontona, putra pemimpin adat Lewuhala Stefanus Lodan Halimaking mengusulkan kepada pemerintah untuk menggelar rekonsiliasi adat antara Pemerintah dan leluhur penunggu gunung Anakoda atau akrab dikenal dengan Ili Lewotolok.
Menurut pria yang kesehariannya menetap di Desa Jontona itu, melalui ritual rekonsiliasi, Pemerintah Lembata dalam hal ini Bupati Lembata Thomas Ola Langoday dan Kepala Badan Penanggunglangan Bencana Daerah Lembata menyatakan penyesalan dan permohonan maaf kepada arwah leluhur penunggu gunung Lewotolok, karena telah melanggar pantangan gunung.

Ia membeberkan fakta, semburan lava pijar letusan Ili Lewotolok menyebabkan kebakaran hutan di sebagian besar badan gunung sehingga upaya pemadaman kebakaran hutan dilakukan melalui bantuan helikopter dengan menyemprotkan air laut dari udara.

“Informasi yang kami terima, api yang membakar hutan di lereng gunung waktu itu dijinakkan tim pemadam kebakaran dengan menyemprotkan air laut dari helikopter. Kami berterima kasih kepada Badan Penanggulangan Bencana Nasional, dan Pemerintah Kabupaten Lembata atas atas upaya pemadaman. Tetapi menggunakan air laut untuk menjinakkan api, melanggar pantangan gunung. Hal ini merisaukan warga dan jika tidak dilakukan ritual adat rekonsiliasi maka dikhawatirkan menimbulkan karma yang merugikan warga di seputaran gunung,” ungkapnya.

Baca Juga:  Dari Taman Kota Lewoleba, Para Pemuda Deklarasikan Dukungan untuk Cagub NTT Ansy Lema

Untuk itu, Bagasi Halimaking mendesak Bupati Lembata, Kepala BPDB dan Kepala Kehutanan untuk segera melakukan ritual adat rekonsiliasi agar tidak membawa dampak negatif bagi warga di seputaran gunung Lewotolok. Ketiga pihak ini harus bertanggungjawab atas keputusan yang diambil saat itu, karena melanggar pantangan dan larangan di Gunung Ili Lewotolok.

Dan dalam ritual rekonsiliasi ini, Bagasi Halimaking mengungkapkan Bupati Lembata, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Kepala Kehutanan hadir langsung di ritus adat Lewuhala yang terletak di puncak Ili Lewotolok untuk menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf.

Kehadiran Bupati Lembata, Kepala BPBD dan Kepala Kehutanan langsung ke ritus sakral di puncak gunung untuk menyampaikan penyesalan dan pernyataan maafnya kepada leluhur, disaksikan penjaga ritus dengan semua struktur adat terkait. Ritual rekonsiliasi akan dipimpin langsung oleh “Molan”. Sementara warga masyarakat adat Lewuhala hanya hadir menyaksikan.

“Kesediaan Bupati Lembata dan Kepala BPBD hadir langsung tanpa terwakili dalam ritual dimaksud menjadi penentu ritual rekonsiliasi berlangsung. Dan ini menjadi syarat rekonsiliasi Kalau ketiga pihak ini tidak hadir maka rekonsiliasi tidak bisa dilakukan,” tegasnya.

Lebih jauh, Bagasi Halimaking juga menyorot pelibatan struktur masyarakat adat dalam Program Eksplorasi Budaya Lembata Tahun 2022 termasuk rekonsiliasi yang terpusat di Desa Jontona.

Dia memandang tujuan Program eksplorasi Budaya Lembata baik adanya, namun dalam penerapannya, Pemerintah terkesan belum mengakui eksistensi masyarakat adat dan gagal paham karena tidak memiliki data yang utuh dan valid.

Hal ini, kata Aloysius, masyarakat adat menjadi sasaran Program Eksplorasi Budaya Tahun Lembata 2022, namun peran lebih besar diambil oleh pemerintah desa. Pemerintah desa menempatkan masyarakat adat hanya semata-mata sebagai masyarakat desa.

Baca Juga:  Partai Demokrat Resmi Serahkan Rekomendasi untuk Pilkada NTT: Malaka, Ende dan Lembata

Padahal di sisi lain lanjut Bagasi, masyarakat adat mengakui eksistensi dan mendukung pemerintahan desa. Dikatakannya lagi, orang-orang yang terpilih dan menempati posisi tertentu dalam Pemeritah Desa juga merupakan masyarakat adat, yang dalam urusan dengan ritual adat mengikuti alur struktur masyarakat adat. Kepala desa dan struktur pemerintah desa bukan pemimpin masyarakat adat.

Selain itu, pemegang kuasa kepemimpinan masyarakat adat Lewuhala juga meminta pemerintah Kabupaten Lembata untuk memperhatikan keutuhan wilayah adat Lewuhala, yang secara administrasi pemerintahan, desa-desa yang berada dalam wilayah adat Lewuhala di bagi kedalam dua kecamatan, masing-masing enam desa berada di Kecamatan Ile Api dan dua desa lainnya masuk ke dalam wilayah administrasi Kecamatan Ile Ape Timur

Desa Jontona Kecamatan Ile Ape Timur adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kesatuan wilayah masyarakat adat Lewuhala. Namun dalam pemerintahan modern, Jontona yang sebagai pusat peradaban masyarakat adat Lewuhala dipisah lepas dari wilayah Lewuhala lainnya.

“Pemisahan ini, memperlemah hubungan emosional antar sesama keturunan Lewuhala. Dalam pelaksanaan ritual adat, Jontona seakan-akan melakukan ritual adat terpisah dari kampung lain dalam wilayah adat Lewuhala yang berada dalam wilayah Pemerintahan Kecamatan Ile Ape. Leluhur Lewuhala pasti bertanya dimana anak keturunannya yang lain, karena dalam ritual adat yang dibutukan adalah kebersamaan dan ketulusan,” tandas Bagasi.

Untuk itu, Bagasi meminta pemerintah agar melihat kembali jadwal dan keterlibatan komunitas adat Lewuhala sebelum melakukan ritual di Desa Jontona. Lewuhala tidak bisa dipisah pisahkan dalam urusan ritual.

Bagasi lalu menyodorkan data bahwa masyarakat adat Lewuhala tersebar di beberapa Kecamatan yakni Ile Ape Timur, Ile Ape dan Lebatukan bahkan di Sagu Kecamatan Adonara, Flores Timur.

Baca Juga:  Dari Taman Kota Lewoleba, Para Pemuda Deklarasikan Dukungan untuk Cagub NTT Ansy Lema

(*/rnc)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *