Gereja: Antara Miskin dan “Bisnis”

Headline, Refleksidibaca 1,152 kali

Oleh: Dr. Doddy Sasi, CMF

Lulusan Hukum Gereja Universitas Kepausan Lateran Roma

Beberapa pekan terakhir, telinga kita seperti sudah tidak asing lagi dengan pertanyaan: apakah Gereja masih berpihak pada yang miskin? Dan apakah Gereja bisa “berbisnis”? Kedua pertanyaan ini yang terdengar interogatif yang kadang lebih bernada sarkasme, sinis, menyindir daripada sebuah pertanyaan murni untuk mencari jawaban yang jujur. Lalu ada satu pertanyaan yang sering muncul pada saat-saat situasi krisis, bencana (bencana alam atau sosial): Di manakah Gereja Katolik? Biarkan saya mencoba untuk merenungkan di mana Gereja sekarang tanpa ada niat untuk terlibat dalam “pertengkaran ide-rasa” dengan mereka yang selalu bersikap skeptis (karena tidak ada jawaban yang cukup bagi mereka yang sering meragukan dan mencibir sinis), tetapi biarkan saja refleksi ringan ini untuk memperkuat iman orang-orang percaya.

Siapakah Gereja?

Gereja adalah orang-orang terbaptis. Gereja adalah para awam. Ada pengusaha baik pria atau wanita, ada artis, aktor dan pejabat pemerintah yang jujur, pemimpin paroki dan anggota organisasi gereja, para donatur, relawan dan warga negara yang berusaha keras untuk memberi makan mereka yang lapar. Memberi bantuan kepada mereka yang tertimpa bencana dan menguatkan mereka yang berkesusahan. Mereka semua merasa sebagai orang-orang terpilih dan selalu berusaha untuk menanggapi panggilan Allah dengan hadir dan membantu sesama mereka. Ada sabda: “Sebab aku lapar dan kamu memberi aku sesuatu untuk dimakan” (Mat. 25:35).

Gereja adalah para biarawati (suster-suster) tua, muda, enerjik dan ceria yang ketika ada bencana, rela berdiri berlama-lama di sekitar panasnya tungku api di dapur umum tempat penampungan untuk  memberi dan membagikan makanan sederhana ala kadarnya kepada sesama saudara yang kesusahan atau yang berada di posko-posko pengungsian.

Gereja adalah para biarawati religius yang berjalan berjam-jam di tengah lumpur untuk membagikan bantuan amal kasih yang mereka punya. Gereja adalah biarawati-biarawati tua-muda yang rela memikul bungkusan bantuan dan membagikan paket makanan ke desa-desa terisolir yang tertimpa bencana. Gereja adalah para biarawati yang berjalan sambal menjunjung atau memikul beras dan kardus (dos-dos) bantuan untuk dibawa dan dibagikan pada mereka yang sangat membutuhkan. Mereka rela jadwal doa mereka diganggu. Mereka berani keluar dari kenyamanan harian mereka untuk ada bersama dengan sesama mereka yang lapar, sakit dan menderita. Mereka tidak ada dalam berita karena mereka menerima nasihat Tuhan: “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mat. 6: 3).

Iklan kopi juwara scaled
Ads

Gereja adalah para imam yang memberkati yang mereka yang sakit dan yang sekarat. Mereka setia mendampingi umat-umat mereka di posko-posko penampungan. Mereka berusaha mencari cara agar setiap umat mereka yang tertimpa bencana bisa terhibur dan tersenyum. Kadang-kadang mereka berjalan dengan rosario di tangan mendaraskan doa bagi umat-umatnya. Mereka juga turun langsung untuk membagikan bantuan ala sederhananya kepada umat yang membutuhkan. Mereka tidak mau tinggal diam. Mereka meninggalkan kenyamanan pastoran karena panggilan mereka adalah menjadi “gembala yang berbau domba” (Paus Fransiskus). Gereja adalah Bapa Suci dan para Uskup yang melayani kawanan domba mereka. Menjaga, menenangkan dan menemani dengan cara masing-masing. “Karena di mana ada Uskup, di situ ada Gereja Katolik” (St Ignatius of Antiokhia).

Gereja adalah paroki-paroki dan biara-biara Katolik yang menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi, membantu mereka yang lapar, memberi minum mereka yang haus dan menguatkan mereka yang membutuhkan penghiburan. Nama-nama mereka tertulis di surga karena mereka mematuhi perintah Tuhan: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan” (Mat. 25:35).

Gereja adalah juga keluarga-keluarga yang berada di tempat-tempat lain yang berdoa bersama di rumah mereka untuk sesama saudara mereka di mana saja yang tertimpa bencana. Ketika bencana ini berakhir, semoga tetap ditemukan kembali bahwa rumah dan komunitas kita memang adalah “gereja domestik” sebagai rumah doa bersama, tempat hangatnya persaudaraan, dan kita menjadi Gereja yang lebih kuat sehingga “gerbang neraka pun tidak akan menang melawannya”.

Di atas segalanya, Gereja adalah mereka yang lapar, haus, dianiaya, berkabung, berduka dan kehilangan apa yang menjadi hak milik mereka. Mereka disebut “yang diberkati” dan Kerajaan Surga adalah milik mereka (Mat. 5: 3-10).

Jadi, pertanyaan, di manakah Gereja Katolik? Gereja ada di tempat di mana cinta itu dibagikan sebab pada akhirnya, Gereja adalah kita semua yang menerima dan berbagi baptisan, iman, dan harapan yang sama dalam kebangkitan. Kita adalah GEREJA KATOLIK!

Gereja yang Miskin

Paus Yohanes XXIII melalui pesan radio sebulan sebelum Konsili, pada tanggal 11 September 1962, memberikan pengakuan resmi atas harapan besar yang telah dibangun di dalam Gereja dan di dunia, dan dalam konteks inilah ia mengatakan: “Di hadapan negara-negara terbelakang, Gereja menampilkan dirinya sebagaimana adanya, dan ingin menjadi, Gereja bagi semua orang, dan khususnya Gereja bagi kaum miskin”. Pesan ini telah berlalu lebih dari enam puluh tahun.

Lalu sejak Jose Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada tahun 2013 yang lalu, dalam berbagai kesempatan ia selalu mengatakan: “….betapa saya menginginkan sebuah Gereja yang miskin dan untuk yang miskin”! Pilihan nama Fransiskus sendiri menjadi buktinya.

Gagasan Gereja miskin untuk yang miskin ini kemudian ia uraikan dengan sangat menarik dalam dokumen Evangelii Gaudium. Baginya, pilihan Gereja yang miskin untuk yang miskin adalah “sebuah bentuk keutamaan khusus dalam pelaksanaan cinta kasih Kristiani, yang menjadi kesaksian bagi seluruh tradisi Gereja. Bagi Gereja, keberpihakan pada orang-orang miskin pada pokoknya adalah kategori teologis daripada kategori budaya, sosiologis, politis atau filosofis. Allah menunjukkan kepada kaum miskin “kemurahan hati-Nya yang pertama. Seluruh tradisi Gereja memberi kesaksian tentang itu.” Pemihakan ini, seperti diajarkan oleh Benediktus XVI, “tersirat dalam iman Kristiani kita akan Allah yang menjadi miskin bagi kita, agar kita menjadi kaya karena kemiskinan-Nya.” Inilah mengapa saya menginginkan Gereja yang miskin dan bagi orang-orang miskin” (no. 198). Tanpa pilihan istimewa bagi kaum miskin, “pewartaan Injil, yang bagaimanapun juga merupakan karya cinta kasih yang pertama, berisiko untuk disalahpahami atau tenggelam dalam lautan kata-kata yang sehari-hari membanjiri kita dalam masyarakat media komunikasi massa.” (n. 199). Keberpihakan istimewa kita pada orang-orang miskin terutama harus diterjemahkan ke dalam pelayanan iman yang istimewa dan diberi prioritas (no. 200). Kata St.Thomas Aquinas: “Mencintai orang miskin memiliki nilai yang sangat berharga” dan ini membedakan pilihan otentik bagi orang miskin dari ideologi apapun, dari niat untuk memanfaatkan orang miskin demi kepentingan pribadi atau politik.

Dalam pidatonya di hadapan sidang umum Persatuan Para Superior Jenderal Internasional pada 8 Mei 2013, Paus Fransiskus mengatakan bahwa “kemiskinan dipelajari dengan menyentuh daging Kristus yang miskin, pada mereka yang rendah hati, yang miskin, yang sakit, dan pada anak-anak”. Lebih dalam lagi, pada renungan Malam Pentakosta – 18 Mei 2013, beliau mengatakan: “Kita tidak bisa menjadi orang Kristiani yang kaku, yang terlalu sopan berbicara tentang hal-hal teologis sambil minum teh, dengan tenang. Tidak! Kita harus menjadi orang Kristiani yang berani dan pergi mencari mereka yang adalah daging Kristus, mereka yang adalah daging Kristus!… menyentuh daging Kristus, menanggung penderitaan bagi orang-orang miskin. Kemiskinan, bagi kita orang Kristiani, bukanlah sebuah kategori sosiologis atau filosofis atau budaya, tapi pertama-tama adalah sebuah kategori teologis. Saya akan mengatakan, sebagai kategori pertama, karena Allah, Putra Allah, merendahkan diri-Nya, menjadikan diri-Nya miskin untuk berjalan bersama kita di jalan ini. Dan inilah kemiskinan kita: kemiskinan daging Kristus, kemiskinan yang dibawa Putra Allah kepada kita melalui Inkarnasi-Nya. Sebuah Gereja yang miskin bagi yang miskin dimulai dengan berjalan di dalam daging Kristus. Jika kita berjalan dalam daging Kristus, kita mulai memahami sesuatu, bahwa kemiskinan ini adalah kemiskinan Tuhan”.

Paus Fransiskus kembali menyerukan dalam Evangelii Gaudium 24: “Sebuah komunitas yang mewartakan Injil terlibat dengan kata dan perbuatan dalam hidup orang sehari-hari; komunitas ini menjembatani jarak, mau menghambakan diri jika perlu, serta merangkul hidup manusia, dengan menyentuh kemanusiaan Kristus yang menderita dalam diri sesamanya”. Oleh karena itu, kekuatan tunggal dari sebuah kesaksian adalah ketika kesaksian itu datang dari ‘orang miskin’, yang keberadaannya bahkan dapat memiliki kekuatan yang menyelamatkan. Bagi saya secara pribadi, dari sudut pandang teologis, inilah kontribusi Paus Fransiskus yang paling spesifik untuk tema Gereja yang miskin untuk yang miskin.

Gereja Berbisnis?

Saya awali dengan satu dua kisah pengalaman kecil. Saya melewati satu bab hidup saya di Kota Roma-Italia. Enam (6) tahun saya menjadi perantau disana. Dan kebetulan sekali komunitas kami cukup dekat dengan Vatikan. Cukup dengan berjalan kaki 20-30 menit. Tinggal bersama juga dengan beberapa konfrater yang bekerja di Vatikan sering memudahkan akses  kami untuk berjalan-jalan di seputaran Vatikan. Ada satu kisah yang membuat saya kaget. Suatu waktu saat handphone saya hilang karena dicopet, saya diajak untuk membeli handphone yang baru di Vatikan. Saat itulah baru saya tahu ternyata di bagian dalam Vatikan ada Mall, ada Supermarket, ada Pom Bensin dan macam toko lainnya. Pertanyaan yang langsung muncul di kepala saya saat itu: bagaimana bisa Gereja memiliki semuanya itu? Pertanyaan ini kemudian berujung pada pertanyaan lain: apakah Gereja bisa “berbisnis”?

Untuk bisa sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya mengutip pikiran-pikiran sederhana yang ada pada Ensiklik Centesimus Annus, ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1991 tentang ajaran sosial masa kini sebagai kenangan Ulang Tahun ke-Seratus Ensiklik Rerum Novarum. Dalam Ensiklik Centesimus annus, Paus Yohanes Paulus II berbicara dalam perspektif etis-budaya tentang bisnis dan keuntungan. Dari kedua realitas yang kompleks ini, Paus menangkap, antara lain, dua aspek penting yakni kesederhanaan dan kekayaan pada saat yang sama. Tentang bisnis (bisa dibaca: perusahaan), ia mengatakan bahwa bisnis adalah ‘komunitas manusia’ (n. 35). Sebagai ‘komunitas manusia’ maka tujuan utama dari bisnis adalah untuk menjamin keberadaan ‘komunitas’ ini. Dan tentang keuntungan, ia mengatakan bahwa ‘keuntungan adalah indikator yang sangat diperlukan untuk kinerja bisnis yang baik’, tetapi bukan satu-satunya indikator (n. 35). Dengan kata lain, Bapa Suci ingin menunjukkan bahwa bisnis dan keuntungan, yang pada dasarnya tampak terutama sebagai realitas ekonomi, tidak dapat dijelaskan hanya dengan ekonomi saja, bahkan dalam aspek-aspek ekonominya, tapi perlu dijelaskan pula dari aspek antropologis dan teologisnya.

Dalam konteks Hukum Gereja, tema pembicaraan ini masuk dalam satu judul besar tentang “Harta Benda Gereja”. Istilah harta benda paling sering digunakan untuk menggambarkan Stift dalam Bahasa Jerman atau sticht dalam Bahasa Belanda, yang digunakan untuk mendukung seorang uskup atau imam atau pelayan Gereja atau Lembaga keagamaan lainya. Rujukan lain ada pada Kan.1257 § 1, yang menegaskan bahwa: harta benda Gereja terdiri dari setiap kekayaan duniawi yang dimiliki oleh Gereja universal atau badan hukum publik lainnya dalam Gereja. Dari sini harta benda Gereja dapat didefinisikan sebagai semua benda material yang memiliki nilai ekonomis yaitu nilai yang dapat dihitung dalam bentuk uang seperti kendaraan, tanah, perabot, saham, obligasi, dan bangunan. Harta benda atau barang-barang duniawi tersebut adalah property sekuler dan milik gereja. Dan hak Gereja atas barang-barang duniawi ini dicapai melalui 4 tindakan yakni, dengan: memperoleh (acquirere), mengelolah (administrare), mempertahankan (retinere) dan mengalihmilikan (alienare). Tiba di sini dapat dikatakan bahwa Gereja seperti kendaraan, tanah, perabot, saham, obligasi, atau bangunan, dll tapi semuanya itu harus digunakan sesuai dengan tujuan dari kepemilikan harta benda itu. Kanon 1254§2 menampilkan 3 tujuan dari harta benda Gereja yakni untuk kepentingan ibadat ilahi (Cultus), untuk mendukung pelayanan klerus (Clerus) dan untuk karya amal (Caritas). Semua usaha dan harta kepemilikan Gereja harus terarah pada ketiga tujuan mulia ini.

Tiba di sini, tentu ada yang ingin kembali bertanya: apakah Gereja bisa “berbisnis”? Jawaban singkatnya tentu saja bisa asalkan sesuai dengan ajaran-ajaran sosial Gereja dan tujuan kepemilikan harta benda yang ada pada Hukum Gereja. Dimana pertama-tama bukan untuk memproduksi kekayaan tapi untuk mendistribusikannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Sebab beberapa mazhab ekonomi bisnis menegaskan bahwa pertumbuhan kekayaan tidak dicapai dengan mempertahankannya, tetapi dengan menyebarkannya ke seluruh sistem ekonomi dan sosial untuk membangun kebaikan bersama (bonum commune). Apa yang diusahakan dan dimiliki oleh Gereja hanya untuk kepentingan: Cultus, Clerus dan Caritas untuk umat-umatnya.

Akhirnya yang perlu diingat bahwa nilai kemanusiaan adalah pusat dari setiap pesan Injili dan Ajaran Sosial Gereja. Dan di atas segalanya, Gereja adalah mereka yang miskin, lapar, haus, dianiaya, berkabung, berduka dan kehilangan apa yang menjadi hak milik mereka. Mereka inilah yang disebut “yang diberkati” dan Kerajaan Surga adalah milik mereka (Mat. 5: 3-10).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *