Oelamasi, RNC – Penetapan status tersangka atas pelaku penambangan pasir laut ilegal di Desa Poto, Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang oleh Satreskrim Polres Kupang, kini berujung pada upaya praperadilan. Prapid diajukan oleh terdakwa, Lazarus Anthonius Bell.
Namun, saat sidang pertama di Pengadilan Negeri Kelas IIB Oelamasi, Senin (31/1/2022) pihak Satreskrim absen tanpa alasan.
Berdasarkan rilis Kantor Hukum Emanuel Passar & Partners yang diterima RakyatNTT.com, Rabu (2/2/2022) petang, kuasa hukum pemohon praperadilan meyakini secara hukum, klien mereka LAB (Lazarus Anthonius Bell) tidak bersalah.
Salah satu kuasa hukum pemohon Praperadilan, Leo Lata Open, SH mengungkapkan kekecewaannya atas ketidakhadiran pihak Satreskrim. Padahal surat dari pengadilan telah diserahkan ke Mapolres Kupang sepekan yang lalu.
“Tapi itu juga tidak diindahkan oleh Termohon (Satreskrim) untuk menghadiri persidangan praperadilan ini bahkan tanpa alasan yang jelas,” ungkapnya.
Terhadap ketidakhadiran Satreskrim Polres Kupang, Kuasa Pemohon sempat meminta ketegasan dari hakim agar proses persidangan berikut bisa dilanjutkan sesuai dengan agenda, mengingat Praperadilan sendiri adalah kewenangan pengadilan untuk memeriksa, memutus tentang sah tidaknya penetapan tersangka, penahanan dan penyitaan barang bukti dengan batas waktu tidak lebih dari tujuh hari sudah harus diputus.
Untuk diketahui, Lazarus Anthonius Bell, S.Pd mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penambangan pasir sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau Kecil.
Terkait dengan kasus tersebut, salah satu kuasa Pemohon Praperadilan, Aldri Dalton Ndolu, SH mengatakan, pihaknya optimis akan menang dan permohonannya bisa dikabulkan Hakim Praperadilan. Alasannya terdapat sejumlah kejanggalan yang dilakukan penyidik Satreskrim Polres Kupang dalam penetapan Tersangka dan penahanan terhadap kliennya.
“Jadi prinsipnya klien kami ini sudah ditahan polisi selama 119 hari lewat proses penyidikan yang sangat panjang, termasuk soal minimal dua alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, tentunya perlu diuji lewat lembaga praperadilan ini,” ujarnya.
Sementara kuasa hukum pemohon lainnya, Adi Kristinten Bullu, SH dan Leo Lata Open, SH juga mempertanyakan soal SPDP dalam proses penyidikan atas kliennya, namun mereka mengakui menghormati proses penyidikan yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Kupang.
Adi Bullu menambahkan terjadi kejanggalan yang dilakukan Penyidik Satreskrim Polres, di mana terdakwa dikeluarkan dari tahanan tanpa adanya penangguhan, sedangkan prosedur KUHP sebenarnya tahanan dikeluarkan setelah masa tahanan 120 hari selesai dan bebas demi hukum.
“Namun kenyataanya, klien kami ini dikeluarkan setelah 119 hari sehingga kami mempertanyakan apa sebenarnya yang menjadi dasar hukumnya?” tanya Adi.
Dengan demikian, Adi pun meminta agar dalam praperadilan penetapan status tersangka atas klien mereka yang ditetapkan oleh Satreskrim Polres tersebut, bisa membuka apakah kinerja kepolisian benar ataukah perlu adanya peninjauan terutama pada unsur 2 alat bukti yang dimiliki Polres.
“Sehingga dalam pandangan kami selaku kuasa hukum, kami akan mengujinya lewat Praperadilan dan berharap klien kami bisa mendapatkan keadilan,” ucapnya.
Selanjutnya, kuasa hukum Leo Lata Open, SH mengatakan pihaknya juga melakukan pendalaman tentang syarat-syarat penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik. Ditegaskan, apabila syarat penyitaan terpenuhi sesuai KUHP, maka dinilai telah merugikan terdakwa Lazarus Anthonius Bell.
“Sebab pelanggaran terhadap syarat-syarat penyitaan adalah termasuk pelanggaran hak konstitusi Tersangka,” pungkasnya.
(*/rnc)