Oleh Yan Piter Lilo
Simpatisan Partai Demokrat
PUBLIK Indonesia pasti masih ingat peristiwa Maret 2021. Itulah awal Partai Demokrat dilanda badai atau lebih tepat disebut ‘tsunami’ politik. Ketika itu, para kader senior dan sejumlah ketua DPC dan DPD merongrong kepemimpinan AHY dan tentu SBY.
Dari hotel ke hotel mereka menggelar meeting. Mengundang DPC dan DPD dari daerah-daerah. Hadir tokoh-tokoh senior Demokrat. Motor penggeraknya adalah KSP Moeldoko didukung Muhammad Nazarudin, Marzuki Alie dan beberapa tokoh senior lainnya. Agendanya menggelar KLB di Deli Serdang untuk melengserkan AHY dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Dan tentu memutus trah Cikeas di partai berlambang bintang mercy itu.
Uang triliunan telah disiapkan. DPC dan DPD dijanjikan ratusan juta hingga miliaran untuk melengserkan AHY. Tidak sedikit ketua DPC dan DPD yang tergiur. Hingga rencana ini sudah hampir matang, Ketum AHY belum tahu apa-apa.
Beruntung, Demokrat punya kader bernama Jefri Riwu Kore. Yah, Wali Kota Kupang ini juga ditawari uang tidak sedikit agar ikut komplotan Moeldoko melengserkan AHY. Dari seorang Jeriko-lah AHY tahu akal bulus Moeldoko Cs. Jeriko menelepon Ketum AHY, Sekjen dan pengurus DPP Demokrat lainnya. Ia membuka borok Moeldoko Cs. Siasat bulus penggagas KLB dibuka setelanjang-telanjangnya di depan Ketum AHY.
Jeriko bahkan datang langsung ke Jakarta. Menghadap AHY. Melaporkan ulah kader-kader senior hendak merongrong kekuasaan AHY. Kabar ini pun menjadi awal pergerakan AHY untuk melakukan konsolidasi. Sejumlah kader Demokrat diperiksa. Yang terbukti ikut Moeldoko langsung dipecat.
Jeriko yang saat itu masih menjabat Ketua DPD Partai Demokrat NTT juga langsung berkonsolidasi di internal Partai Demokrat NTT. Semua pengurus dari DPD hingga DPC dikumpulkan. Tak terhitung berapa kali dilakukan konsolidasi internal. Ini bertujuan agar Demokrat tetap kuat dan mencegah lengsernya AHY dari kursi ketum.
Pernyataan sikap dari seluruh kader Demokrat NTT dibawa ke Jakarta dan dibacakan di depan Ketum AHY dan pengurus DPP. Jeriko tegas menyatakan Demokrat NTT tegak lurus mendukung ketum AHY dan mengutuk keras aksi pembegalan partai oleh Moeldoko Cs.
Singkat cerita, AHY telah mengetahui rencana pelengseran yang diceritakan Jeriko secara detail, mulai dari tempat dan waktu pertemuan hingga agenda KLB dan tokoh-tokoh yang terlibat. Dari situlah AHY mulai bergerak mengumpulkan ketua-ketua DPD dan DPC. Tak bisa dibayangkan jika informasi ini terlambat disampaikan kepada AHY. Pasti tidak sedikit ketua DPD dan DPC yang sudah ikut mengesahkan AD/ART baru Partai Demokrat melalui forum KLB. Bahkan, lebih dari itu, kita tidak lagi melihat AHY duduk manis di kursi ketum Demokrat.
Memang KLB akhirnya terlaksana di Deli Serdang, namun tak ada Ketua DPC dan DPD yang sah yang ikut forum tersebut. Tak sampai di situ, usai KLB gerakan Moeldoko Cs masih terus aktif. Mereka menggugat ke pengadilan. Jeriko selalu berada di belakang AHY untuk melawan Moeldoko Cs.
Saya pernah lama berdiskusi dengan Jeriko. Ia menceritakan soal kemelut Partai Demokrat. Yang menarik adalah mereka-mereka yang di kubu Moeldoko juga adalah teman-temannya. Termasuk mantan Ketua DPR Marzuki Alie dan almarhum Max Sopacua serta Johny Allen Marbun. Mereka teman akrab Jeriko.
Tapi, saya akui sosok Jeriko. Ia konsisten dengan prinsipnya, yaitu teman adalah bukan yang duduk dan foto bersama-sama dengan kita, tapi teman adalah mereka yang berjuang bersama kita untuk sebuah keadilan dan kebenaran.
Sampai di sini saya mendapat pelajaran berharga. Padahal, baru seumur jagung hubungan Jeriko dan AHY sebagai ketua DPD dan ketua umum. Jalinan pertemanan dengan komplotan Moeldoko-lah yang sudah terjalin sejak lama, sejak Partai Demokrat lahir. Sejak konsolidasi memenangkan SBY di Pilpres 2004. Dan, mereka berteman saat sebagai anggota DPR RI. Komunikasi masih terus terjalin. Jeriko melawan teman-temannya yang hendak ‘melukai’ AHY. Jeriko tetap menjaga AHY.
Sekadar flash back, Jeriko juga merupakan Ketua DPD Partai Demokrat pertama yang mengusulkan AHY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan, digelar deklarasi secara resmi di Hotel Aston saat kunjungan AHY ke Kota Kupang. Dukungan secara tertulis itu diserahkan langsung Jeriko kepada AHY kala itu.
Jeriko jugalah yang kemudian melakukan konsolidasi kepada ketua-ketua DPD untuk mendukung AHY menjadi ketua umum. Ia meyakinkan ketua-ketua DPD dan DPC agar mendukung AHY dalam Kongres Partai Demokrat di Jakarta.
Kembali ke isu KLB. Saat ini situasi Partai Demokrat sudah kembali kondusif. Gerakan Moeldoko Cs sudah gagal. Semua elit bertepuk tangan untuk AHY. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil meloncat-loncat kegirangan menyaksikan kekalahan Moeldoko Cs. Termasuk mereka yang sebelumnya bermuka dua. Main dua kaki. Yang tak pernah berdiri membela AHY. Kini ikut bersorak paling lantang.
Tidak Dipilih AHY
Musda Partai Demokrat di Kupang pada Oktober 2021 lalu menetapkan dua calon, yakni Jefri Riwu Kore (Jeriko) dan Leonardus Lelo alias Leo Lelo. Dalam penyampaian dukungan, Jeriko mendapat 12 dukungan dan Leo mendapat 11 dukungan. Tapi, berdasarkan AD/ART hasil Kongres Jakarta Tahun 2020 dan Peraturan Organisasi, penentuan ketua bukan berdasarkan jumlah dukungan, tapi berdasarkan fit and proper test dan keputusan tim 3, yakni Ketua Umum, Sekretaris Jenderal dan Kepala BPOKK.
Oleh karena itu, kalaupun mendapat dukungan mayoritas, belum tentu terpilih jadi ketua. Semua tergantung maunya ketua umum, sekjen dan kepala BPOKK. Setidaknya ini hasil kongres Surabaya yang tertuang dalam AD/ART Partai Demokrat.
Terkait fit and proper test, memang digelar sangat tertutup. Tidak boleh ada orang lain yang mengakses proses ini. Hanya calon ketua DPD bersama ketua umum, sekjen dan kepala BPOKK. Tahapan ini digelar online saat itu.
Namun, dari materi visi-misi dan program yang sempat saya baca, Jeriko menguraikan secara detail apa saja yang telah dan akan dilakukan untuk membesarkan Partai Demokrat di NTT. Agenda besarnya adalah memenangkan AHY sebagai presiden.
Saking detailnya program tersebut, ia sudah membuat hitung-hitungan anggaran yang harus dikeluarkan untuk kampanye pileg, pilkada hingga pilpres, mulai dari operasional, kesekretariatan, alat peraga kampanye, termasuk pendidikan politik secara berjenjang. Dan, luar biasanya, anggaran miliaran itu tak dibebankan sendiri kepada para calon, tapi sebagai ketua DPD ia siap membantu mengalokasikan anggaran. Ini demi kesuksesan Partai Demokrat di tahun 2024, setelah pada pemilu 2019 lalu Demokrat dinilai gagal secara nasional akibat langkah politik yang salah.
Namun, pada akhirnya AHY memutuskan lain. Publik pasti bertanya apa pertimbangan AHY? Hanya AHY, Sekjen dan kepala BPOKK yang tahu. Mereka yang memutuskan. Lalu AHY menandatangani SK.
Sejak Musda Oktober lalu, Jeriko menyerahkan sepenuhnya kepada ketum AHY untuk memutuskan. Ia bahkan melarang keras pendukungnya untuk membuat keributan. Semua harus tenang. Biarlah ketum AHY yang memutuskan. Kalau masih dipercaya ya syukur. Kalau tidak pun syukur.
Yang paling penting, kata Jeriko, adalah ia sudah berbuat untuk Demokrat. Ia telah melaksanakan tugasnya sebagai ketua DPD selama 5 tahun. Dan, bahkan, ia sudah berkontribusi bagi Demokrat sejak tahun 2004, ikut memenangkan SBY sebagai presiden dua kali, menyukseskan AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat dan memenangkan AHY melawan Moeldoko Cs. Tak terkecuali memenangkan Demokrat di NTT pada pileg 2009 lalu dengan meraih 2 kursi DPR RI dari dapil NTT 2. Dan juga mempertahankan kursi DPR RI pada pileg 2014, walaupun Demokrat saat itu dihantam berbagai isu tak sedap akibat tidak mendukung Jokowi. Setelah pada tahun 2017 Jeriko terpilih menjadi wali kota, kursinya diduduki oleh Anita Gah.
Pendukung Kecewa
Banyak pendukung Jeriko kecewa. Mereka sampai membawa atribut Demokrat lalu membakarnya di depan kantor DPD Partai Demokrat. Bendera-bendera Demokrat di kantor itu juga ikut dibakar. Mereka kecewa karena harapan mereka untuk kebesaran Partai Demokrat di NTT itu sirna seiring keputusan AHY. Keputusan yang dinilai tidak berdasarkan pertimbangan yang fair dan tidak demokratis.
Apalagi, sejak awal memang, sosok Jeriko ini sudah diserang habis-habisan oleh kubu Leo Lelo yang dibekingi dua anggota DPR RI Benny Kabur Harman (BKH) dan Anita Gah. The man behind the gun inilah yang makin membuat panas internal Demokrat NTT. BKH memang tidak lagi mendapat respect dari sejumlah kader Demokrat, karena pernyataan-pernyataannya yang sering menjadi kontroversi di publik membuat banyak orang tidak menyukai Partai Demokrat, khususnya di NTT. Sebagai bukti Demokrat yang beberapa kali mencalonkan BKH di pilgub selalu kalah. Selalu peringkat buntut. Suara BKH di pileg pun terus tergerus.
Sikap BKH dan Anita yang nekat turun gunung inilah yang ikut membuat arena Musda Demokrat NTT ramainya bukan main. Entah agenda apa yang sedang disetting dua politisi Senayan ini. Belum ada yang tahu. Yang pasti keduanya menjadi aktor utama suksesor Leo menjadi ketua DPD Demokrat NTT.
Lagi pula, konon kabarnya, BKH menyatakan akan mundur dari Demokrat jika AHY memilih Jeriko namun bukan Leo yang menjadi sekretarisnya (jika salah silakan diklarifikasi). Karena sikap kompromistis seperti inilah yang membuat Jeriko menolak. Ia lebih baik mundur terhormat daripada bekerja sama dengan mereka yang tidak sejalan dan sepemikiran.
AHY Menabur Angin
Ketum AHY mungkin merasa jumawa telah mengalahkan Moeldoko Cs. Ia sudah merasa aman dan nyaman. Kursinya sudah tak bisa digoyang lagi. Hingga akhirnya keputusan-keputusannya begitu kontroversial.
Setidaknya itu tergambar dari Musda Demokrat di beberapa daerah. Ketua-ketua DPD yang selama ini berada di garis depan mempertahankan kekuasaan AHY di Demokrat justru dikhianati. Sebut saja di Lampung, Riau dan NTT.
Di Lampung, AHY lebih memilih kakak kandung politisi Demokrat Andy Arief, yakni Edy Irawan Arief sebagai ketua DPD Demokrat Lampung lalu mencampakkan sang petahana yang sejak awal berjuang keras untuk keutuhan Partai Demokrat di Lampung, yakni M. Ridho Ficardo.
Begitu juga di Riau. AHY mencopot Asri Auzar dari jabatan sebagai Ketua DPD Demokrat Riau pada akhir November 2021 lalu, padahal masa jabatannya baru akan berakhir tahun 2022. AHY lalu menggelar musda. Agung Nugroho lalu terpilih secara aklamasi lalu disahkan oleh AHY.
Jadi, selain NTT, aksi protes para kader Demokrat sebelumnya sudah terjadi di daerah-daerah tersebut. Bahkan tak sedikit yang sudah menyatakan mundur dari Partai Demokrat. Bibit perpecahan mulai muncul dari daerah. Menarik menanti keputusan-keputusan AHY selanjutnya untuk beberapa daerah lainnya. Semoga angin yang ditabur tidak lekas menjadi badai.
(*)