Oleh Erasmus Frans Mandato
Pendiri Yayasan Fatuovak, Rote Ndao
PARIWISATA sebagai lokomotif pembangunan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akselerasi oleh Pemerintah Provinsi NTT sebagai ikutan sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat yakni dengan melakukan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah, mulai dari wilayah Indonesia bagian Barat, Tengah, hingga Indonesia Timur.
Sebagai RKP (rencana kerja pemerintah) tahun ketiga dalam konteks Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, RKP 2022 dijabarkan dalam 7 (tujuh) Prioritas Nasional (PN), khusus Prioritas Kedua yakni: Pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan, menjadi salah satu poin penting bagi Daerah mengimplementasi Prioritas pembangunan di Daerah dengan Basis Perencanaan yang berkesinambungan sebagaimana pada prioritas keenam Lingkungan Hidup, ketahanan bencana dan perubahan iklim.
Kawasan Wisata Internasional Nemberala/Rote Barat menjadi salah satu pilar utama pariwisata di Provinsi Nusa Tenggara Timur kebih khusus di Kabupaten Rote Ndao sejak awal perkembangan berjalan sendiri/auto pilot tanpa memiliki rencana detail tata ruang (RDTR) hingga saat ini. Sejak awal kunjungan wisatawan mancanegara (Peselancar Ombak) pada tahun 1995, manakala Rote Ndao secara administrasi sebagai bagian daerah Kabupaten Kupang sebagai Wilayah Koordinator telah dilakukan perencanaan awal tata ruang dengan penempatan sejumlah pilar zonasi yang oleh Bappeda Kabupaten Kupang.
Langkah awal ini kemudian menjadi tidak dapat diimplementasi dengan baik ketika secara administrasi dan otorisasi Kabupaten Rote Ndao berpisah dari Kabupaten Kupang pada tahun 2002. Pemindahan pemerintahan dan seluruh ikutan menjadi pergumulan baru dan terjadilah missing link hingga saat ini.
Pada masa kepemimpinan Kepala Desa Nemberala Hanokh Kay (alm) tahun 1990 dengan memanfaatkan bantuan Dinas Sosial Kabupaten Kupang berupa semen/material bangunan, bersama aparat desa, LKMD dan masyarakat melakukan perencanaan dan secara gotong royong berhasil membangun jalan lingkungan, yakni jalan pada sepadan Pantai Nemberala batas utara dengan Desa Sedeoen dan batas selatan dengan Desa Oenggaut.
Jalan lingkungan dimaksud membentang sepanjang 3 kilometer. Selain itu akses ke pantai terkoneksi dengan jalan pada sepadan pantai, dibangun sebanyak 3 (tiga) ruas jalan yang terhubung dengan jalan raya/jalan utama. Sebuah pemikiran yang sangat konseptual dan visioner oleh seorang pemangku kepentingan di desa saat itu telah memberikan effect yang nyata dan bermanfaat hingga saat ini.
Otonomi desa sebagai implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa secara berturut-turut dilakukan hal serupa oleh Pemerintahan Desa Oenggaut, Desa Bo’a dan Desa Sedeoen dengan budgeting dana desa (APBDes) terbangun sejumlah ruas jalan lingkungan, namun masih belum terintergrasi oleh karena belum adanya Detail Rencana Kawasan.
Langkah maju yang dilakukan oleh pemerintah desa bersama masyarakat dilakukan secara parsial berdasarkan usulan masyarakat melalui Musrenbang Desa yang implementasinya sesuai kebutuhan tanpa sebuah intervensi design regulatif berupa master plan pada kawasan wisata Nemberala di Kecamatan Rote Barat yang dikenal dengan Rencana Detail Tata Ruang oleh Pemerintah Kabupaten Rote Ndao.
Pemerintah Kabupaten Rote Ndao pada awal tahun 2015 melakukan perencanaan sesuai dengan pedoman penyusunan RDTR yang diamanatkan peraturan dan perundang-undangan terhadap 4 (empat) usulah yakni RDTR Kota Ba’a, RDTR Kaden Rote Tengah, RDTR Kawasan Wisata Nemberala dan RDTR Pulau Utak.
Semua proses dilakukan dengan pembiayaan anggaran dari APBD Kabupaten Rote Ndao yang telah ditetapkan antara Pemkab dan DPRD Kabupaten Rote Ndao. Tahapan penyusunan yang melibatkan pihak ketiga pada pelaksanaannya mengalami keterlambatan dan belum ditetapkan hingga saat ini. Akan tetapi ada 1 (satu) buah produk dalam bentuk master plan yang secara terpisah dipublikasikan oleh Dinas Pariwisata yang dipertanyakan landasan hukum/legalitas final yakni RDTR Pulau Utak.
Masih dengan harapan yang sama, publikasi RDTR Pulau Utak dalam bentuk peta tiga dimensi sudah final. Semestinya ketiga produk RDTR; Kota Ba’a, Kaden Rote Tengah dan Nemberala Rote Barat dengan seluruh kajian yang telah terlewati secara bersama-sama mendapat perlakuan yang tidak berbeda, karena ada dalam perencanaan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Rote Ndao Tahun Anggaran 2015-2016 serta melibatkan jasa pihak ketiga yang sama pula.
Keterlambatan dalam perumusan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah sesuai dengan masa waktu perumusan hingga penetapan 8 (delapan) bulan disyaratkan dalam pedoman penyusunan tidak muncul produknya. Seiring perjalanan waktu, adanya penyesuaian/perubahan terhadap proses perencanaan di daerah yakni RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Rote Ndao Tahun 2019-2024, RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). RPJMD sebagai acuan mutlak proses penyusunan RDTR kabupaten/kota. RPJMD dimaksud wajib disinkronkan dengan muatan RTRW (rencana tata ruang wilayah) kabupaten/kota dan perlu mendapatkan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). KLHS ini disiapkan oleh Pemda Rote Ndao dan mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi NTT.
Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang diatur dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Beberapa pedoman peraturan di atas yang mengalami perubahan secara tekstual, namun tidak mengalami perubahan signifikan secara kontekstual yakni:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Peraturan Meteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota dan Rencana Detail Tata Ruang.
Proses perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Kabupaten Rote Ndao yang kurang menempatkan prioritas berimpilikasi pada tujuan yang ingin dicapai:
1. Tidak ada arahan bagi masyarakat dalam pengisian pembangunan fisik kawasan sesuai peruntukan, yakni kawasan permukiman, kawasan budi daya, kawasan ruang terbuka hijau, kawasan konservasi dan garis sepadan pantai.
2. Tidak ada pedoman bagi instansi terkait dalam menyusun zonasi dan pemberian perizinan kesesuaian pemanfaatan bangunan dengan peruntukan lahan dengan sasaran yang semakin menjauh dari yang ditargetkan
a. Tidak adanya keselarasan, keserasian, keseimbangan antar lingkungan, permukiman dalam kawasan, investasi oleh private sector membutuhkan pemanfaatan sumber daya. Salah satu yang sangat penting adalah pasir laut. sumber daya alam yag tidak dapat diperbaharui terancam penggunaan oleh para pelaku usaha. Sebelum adanya penegasan dan pengawasan yang lebih intensif baik oleh Pemda Kabupaten Rote Ndao Kementerian KKP, dalam hal ini BKKPN, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat, pasir laut telanjur digunakan sebagai material bangunan yang ikut berdampak pada abrasi. Pemanfaatan sumber daya alam secara tidak tepat serta ikut diperburuk oleh oerubahan iklim/climate change.
b. Tidak terwujudnya keterpaduan program pembangunan antara kawasan maupun dalam kawasan, sebagaimana kerusakan yang timbul dengan hilangnya garis pantai yang digantikan dengan pembangungan Tembok Penahan/Retaining Wall secara sepihak tanpa pelibatan instansi terkait yang perlu dikaji secara cermat. Alhasil, Pantai Nemberala yang sangat terkenal, pada banyak ruang sepanjang pantai yang telah kehilangan ciri khas alami dan tergantikan dengan Retaining Wall/sentuhan tangan manusia.
c. Pembangunan kawasan strategis dan fungsi kota yang tidak terkendali, baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat/swasta, tidak adanya perencanaan dengan target baik jangka panjang, menegah maupun pendek demi pengelolaan lingkungan yang menjadi skala priorotas pembangunan sarana sistem drainase dan sanitasi terintegrasi serta pengelolaan persampahan manakala pariwisata sebagai lokomotif adalah industri non manufacture yang lebih ramah lingkungan perlu diatur pemanfaatan lingkungan secara berkelanjutan.
d. Perencanaan yang baik akan mendorong peran aktif masyarakat dalam melakukan investasi di dalam kawasan, yakni pemberdayaan usaka kecil dan menengah (UKM). Investasi di kawasan potensial dimaksud terjadi lebih didominasi oleh private sector PMDN dan PMDA padat modal. Ketiadaaan tata ruang sebagai acuan pembangunan memberikan keuntungan pragmatis sementara langsung kepada masyarakat, aset lahan tanah strategis yang dimiliki masyarakat bernilai tinggi yang diharapkan adanya pembatasan kepemilikan mutlak dengan konsep perjanjian/kontrak terbatas atau kepemilikan terbatas yang lebih memberikan win-win solution dan benefit bagi masyarakat dan private sector semakin menjadi penantian dalam mimpi. Beralihnya kepemilikan aset tanah masyarakat dengan nilai seadanya oleh pihak-pihak yang bekerja sama secara sistimatis, sehingga harapan akan pembangunan berbasis kemasyarakatan hanyalah sebuah slogan namun lain dalam pelaksanaanya.
e. Terkoordinasinya pembangunan kawasan antara pemerintah dan masyarakat/swasta menjadi rancu, sebagaimana akses jalan lingkungan sepadan pantai yang dibangun pemerintah desa dan masyarakat tidak dapat ditingkatkan dan diperluas, yang terjadi adalah penguasaan akses publik dimaksud oleh pihak investor pada sejumlah ruas, sehingga akses jalan menjadi terputus tidak dapat dilewati, peruntukan lahan sepadan pantai merupakan ruang publik diklaim secara sepihak menjadi milik perseorangan atau pengusaha tertentu.
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025 menyebutkan citra pariwisata nasional “Indonesia Ultimate in Diversity, Wonderful Indonesia” adalah pencitraan pariwisata yang berbasiskan pada pencitraan wilayah sebagai destinasi pariwisata, yang terdiri dari 50 wilayah Citra Pariwisata Nasional. Kawasan Kupang-Rote Ndao dan sekitarnya berada pada urutan ke-30.
Hal ini adalah acuan legislasi yang menyentuh perhatian dan intervensi pembangunan oleh pemeritntah pusat, menjadi sebuah kebanggaan kunjungan kerja Presiden Republik Indonesia pertama di Kabupaten Rote Ndao oleh Bapak Joko Widodo Tahun 2018. Kehadiran pejabat negara menteri dan kepala lembaga setingkat menteri yang berkunjung ke Kabupaten Rote Ndao menjadi peluang daya ungkit mematangkan jaringan menyongsong APBN tahunan secara berkala.
Pekerjaan rumah pemerintah dan unsur penyelenggara pemerintah adalah bertindak dengan cepat, tepat, tulus dan kebesaran hati menyiapkan Design Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah menyumbang hambatan bagi pemerintah pusat mengintervensi secara langsung sebagai kawasan ekonomi strategis khusus kawasan wisata Nemberala di Kecamatan Rote Barat. Ikutannya akan dapat bereskalasi lebih bagi kawasan sekitar di Kabupaten Rote Ndao dengan konsep pembangunan hulu ke hilir sebagiamana prioritas pembangunan Kabupaten Rote Ndao yang lantang menyatakan “Pembangunan Pariwisata yang didukung pertanian dan kelautan.”
Kemudahan investasi lewat aturan dan kebijakan, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing dalam rangka pemulihan ekonomi akibat kondisi global yang sulit diprediksi, tanpa mengesampingkan prioritas nasional (PN).
Ketiga; Sumber Daya Manusia Berkualitas dan Berdaya Saing. Serta prioritas pertama yakni Pembangunan Nasional: Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan Berkualitas dan Berkeadilan di Kabupaten Rote Ndao Lebih Khusus Kawasan Wisata Internasional Nemberala, Kecamatan Rote Barat. (*)
Dapatkan update informasi setiap hari dari RakyatNTT.com dengan mendownload Apps https://rakyatntt.com