Kesetaraan Gender Sangat Penting untuk Mencapai SDGs 2030

Humanioradibaca 581 kali

Kupang, RNC – Tanggal 11 Februari diperingati sebagai International Day of Women and Girls in Science. Pandemi Covid-19 jelas mempengaruhi segala aspek kehidupan, juga berdampak besar bagi perempuan.

Sebagaimana data yang dikemukan oleh unwowen.org, Covid-19 berpotensi dalam mempengaruhi lebih banyak perempuan daripada laki-laki dalam berbagai aspek pencapaian pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals 2030.

Hari internasional perempuan dalam sains tahun ini merupakan perayaan ke-6 dan diadakan di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara virtual. Dengan momentum dan minat yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, pertemuan sains tersebut mengangkat tema “Beyond the Borders”. Kesetaraan dalam sains untuk masyarakat, dengan fokus khusus pada nilai aspek sosial dan dimensi budaya dalam Sains, Teknologi dan Inovasi untuk meningkatkan program pembangunan berkelanjutan.

BACA JUGA: Catat, Ini Jadwal Pencairan Gaji Ke-13 PNS Tahun 2021

Menanggapi peringatan hari internasional perempuan dalam sains, Sekfung Pemberdayaan Perempuan PP GMKI MB 2020-2022, Irma Thobias mengatakan sains dan kesetaraan gender merupakan dua hal penting dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan atau SDGs 2030. Kedua hal tersebut harusnya berjalan beriringan, namun sayangnya hingga kini kesenjangan gender dalam sains justru masih terjadi. Bias dan stereotip gender akhirnya menjauhkan perempuan dari bidang sains. “Diharapkan kader perempuan GMKI dapat menjadi cerminan bagi masyarakat dalam menunjukkan eksistensi perempuan dalam sains,” kata Irma.

Saat ini, kurang dari 30 persen peneliti di seluruh dunia adalah perempuan. Data UNESCO (2014-2016) menunjukkan bahwa hanya sekitar 30 persen siswa perempuan yang memilih bidang STEM (science, technology, engineering, mathematics) pada jenjang pendidikan tinggi. Selama 15 tahun terakhir, komunitas global telah melakukan banyak upaya dalam menginspirasi dan melibatkan perempuan dalam sains, namun aspek social dan budaya masih terus menjadi hambatan bagi perempuan dalam partisipasi penuh dalam sains.
Tidak hanya di dunia nyata, pada tahun 2015, Studi Gender Bias Without Borders oleh Geena Davis Institute menunjukkan bahwa bahkan dalam karakter di layar kaca hanya 12% perempuan yang diidentifikasi ada dalam STEM (science, technology, engineering, mathematics).

BACA JUGA: BKPM Gandeng HIPMI Fasilitasi Kemitraan Investor Besar dengan UMKM

Irma mengatakan pandemi Covid-19 yang mengguncang berbagai aspek kehidupan harusnya cukup menyadarkan semua pihak. Dalam situasi pandemi Covid-19, secara tidak langsung ilmuwan dituntut lebih untuk mengembangkan berbagai ilmu, teori dan eksperimen, mulai dari pengenalan virus hingga pembuatan vaksin yang tepat. Epidemiolog gencar memaparkan distribusi, determinan dan kondisi kesehatan wilayah. Pun data statistik yang dipantau tiap hari. “Kita pun dipaksa beradaptasi dengan teknologi virtual. Hal ini menunjukkan betapa sains sangat dekat dengan kita. Sains tidak hanya milik laki-laki, tapi juga perempuan. Oleh karenanya, perempuanpun berhak mendapat akses yang penuh dan setara dalam bidang sains,” ujarnya. (*/rnc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *