Oleh: Bimo Ario Tejo
Associate Professor di Universiti Putra Malaysia dan dekan di Faculty of Applied Sciences, UCSI University, Malaysia (2016-2019)
QS World University Rankings baru saja mengumumkan peringkat universitas untuk tahun 2021. Ada pihak yang gembira dengan kenaikan ranking dibanding tahun lalu, tetapi ada juga yang gelisah dengan prestasi yang memburuk. Universitas Indonesia (UI) misalnya, mengalami penurunan peringkat dari kedudukan ke-296 pada tahun lalu menjadi 305 untuk tahun ini. Sebaliknya, Institut Teknologi Bandung (ITB) mengalami kenaikan peringkat dari 331 pada tahun lalu menjadi 313 untuk tahun ini.
Banyak yang berpendapat bahwa sistem ranking mendorong universitas untuk bersaing satu sama lain. Persaingan akan mendorong setiap universitas untuk berbuat yang terbaik. Namun harus diingat bahwa persaingan yang terlalu ekstrem juga memunculkan ketidakjujuran, praktik tidak etis, dan segala macam implikasi negatif.
BACA JUGA: UI Peringkat Teratas Kampus Paling Produktif Hasilkan Publikasi Ilmiah
QS World University Rankings dan Times Higher Education World University Rankings adalah dua lembaga ranking universitas yang paling sering dijadikan rujukan oleh berbagai pihak. Keduanya adalah organisasi komersial dan mempunyai motif bisnis. Oleh karena itu, untuk masuk ke daftar ranking kedua lembaga tersebut terkadang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun ada persepsi umum bahwa universitas yang tidak mendapat ranking oleh kedua lembaga tersebut akan dicap sebagai universitas yang tidak berkualitas. Hal ini menciptakan rasa takut yang mendorong lebih banyak universitas untuk bergabung dengan “permainan ranking”.
Setiap lembaga ranking memiliki kriteria penilaian yang berbeda. Untuk mendapat ranking yang tinggi, universitas harus mengarahkan fokus dan tujuan mereka agar sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh lembaga ranking. Karena organisasi ranking memberikan nilai cukup tinggi untuk publikasi riset, universitas yang awalnya yang tidak aktif dalam dunia penelitian sesegera mungkin mengarahkan fokus mereka ke dunia riset.
Karena semua universitas berlomba-lomba melakukan riset demi menaikkan ranking masing-masing, penelitian tidak lagi didorong oleh kebutuhan untuk menciptakan pengetahuan dan teknologi baru. Hal ini mengakibatkan munculnya publikasi riset yang tidak memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kita dapat mengambil pelajaran dari negara tetangga, Malaysia. Peringkat Universiti Malaya (UM) mengalami kenaikan cukup baik selama 10 tahun terakhir.
Universiti Malaya sekarang berada di posisi ke-59 dalam QS World University Rankings 2021. Beberapa universitas di Malaysia yang dulu memiliki peringkat lebih rendah dibanding UI sekarang berada di peringkat 200 teratas, meninggalkan UI di belakang pada posisi ke-305. Meskipun peringkat mereka meningkat pesat, universitas-universitas di Malaysia dihantui oleh masalah peningkatan jumlah publikasi riset yang berkualitas rendah.
Berdasarkan data Scopus untuk tahun 2012-2016, Malaysia menghasilkan 130 ribu publikasi riset, tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Selama periode yang sama, Singapura menghasilkan 94 ribu publikasi riset. Namun dengan jumlah publikasi yang lebih sedikit, Singapura menghasilkan publikasi yang lebih berkualitas dengan skor citation impact 1,7. Sementara Malaysia mencatat skor citation impact 0,8, lebih rendah dari skor rata-rata citation impact global yaitu 1,0.
Indonesia menghasilkan hampir 30 ribu publikasi riset per tahun dan diperkirakan akan mengungguli Malaysia pada tahun ini sebagai negara penghasil publikasi riset tertinggi di ASEAN. Namun kita bisa terjebak sebagai penghasil publikasi berkualitas rendah jika ambisi untuk memperbaiki ranking adalah kekuatan pendorong utama dalam melakukan riset. Global Innovation Index 2019 menempatkan Indonesia pada posisi terendah kedua setelah Kamboja dalam hal kinerja inovasi di antara negara-negara ASEAN.
Sudah saatnya bagi universitas untuk berhenti menjadi pabrik penghasil publikasi berkualitas rendah dan mulai mengambil peran utama sebagai penggerak semangat berinovasi di kalangan generasi muda. Universitas dapat menyediakan tempat bagi dosen, mahasiswa, pebisnis, dan masyarakat awam dapat bertukar pikiran serta menghasilkan ide-ide baru.
Silicon Valley di California dan Silicon Fen di Cambridge yang merupakan pusat lahirnya perusahaan-perusahaan inovatif berteknologi tinggi, adalah hasil kolaborasi yang apik antara universitas dan dunia bisnis. Inovasi dapat menghasilkan produk baru yang membawa manfaat kepada masyarakat dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Sebaliknya, ranking universitas tidak membawa manfaat apapun untuk masyarakat.
Ada asumsi bahwa ranking yang lebih baik menjadi alasan untuk menarik lebih banyak mahasiswa. Jumlah mahasiswa yang lebih banyak akan berdampak positif secara ekonomi karena adanya perputaran uang. Namun Tutterow dan Evans (2015) menunjukkan bahwa kenaikan satu skor ranking hanya membawa kenaikan jumlah mahasiswa kurang dari satu persen.
BACA JUGA: Terobosan Baru STIKOM Artha Buana: Jadi Sarjana tanpa Skripsi!
Universitas yang fokus pada inovasi jelas memiliki kontribusi yang lebih baik kepada masyarakat dibanding universitas yang fokus ke mengejar kenaikan ranking. Satu lagi bukti bahwa ranking universitas tidak memiliki makna apapun: Universitas Würzburg di Jerman yang namanya dikaitkan dengan setidaknya 14 pemenang Hadiah Nobel, hanya menempati posisi ke-437 dalam QS World University Rankings tahun ini. Apakah itu berarti Universitas Würzburg memiliki kualitas lebih rendah dibanding universitas-universitas di Indonesia yang ranking-nya lebih tinggi? (*)