AMAN Nusa Bunga Soroti Sejumlah Program Pembangunan yang Abaikan Hak Masyarakat

Endedibaca 193 kali

Ende, RNC – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa peduli terhadap persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat adat, baik secara umum di Indonesia maupun khususnya di wilayah Flores-Lembata. Beberapa program pembangunan oleh pemerintah justru membawa dampak buruk terhadap keberadaan masyarakat adat.

Philipus Kami selaku Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga dalam konferensi pers di Rumah AMAN Nusa Bunga, Jl. Udayana, Onekore, Ende, Juma’t (1/10/2021) mengatakan AMAN Nusa Bunga secara organisasi mendorong pemerintah daerah dan DPRD Flores-Lembata untuk melibatkan masyarakat adat menjadi salah satu kekuatan dalam perencanaan pembangunan di masing-masing kabupaten. Alasannya masyarakat adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempertahankan dan mewarisi nilai-nilai luhur generasi ke depan yang juga mejadi kekuatan untuk membentengi pengaruh-pengaruh budaya luar.

Beberapa kasus masyarakat adat yang menjadi sorotan AMAN Nusa Bunga antara lain kasus tanah masyarakat adat di Golo Mori, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat yang berbuntut penahanan terhadap 21 anggota masyarakat adat. Selain itu, ada kasus Geothermal Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, masalah pembangunan pabrik semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Satar Punda-Manggarai Timur, kasus Geothermal Ulumbu di Poco Leok di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, kasus Geothermal di Dorotei, Mataloko, Kabupaten Ngada yang hingga saat ini tidak pernah ada perhatian dari pemerintah, kemudian pembangunan waduk Lambo di Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, kasus HGU Nangahale, Kecamatan Tali Bura, Kabupaten Sikka, dan kasus HGU Hokeng, Kecamatan Wulangitang, Flores Timur.

Berkaitan dengan pembangunan waduk Lambo, tutur Philipus, masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo sesungguhnya tidak menolak pembangunannya, namun menolak lokasi pembangunannya dengan memberikan solusi lokasi alternatif dari Lowo Se ke Malawaka dan Lowo Pebhu yang juga masih dalam wilayah adatnya karena di lokasi Lowo Se terdapat pemukiman warga, berbagai indentitas budaya, padang perburuan adat, kuburan leluhur, sarana publik (gereja, sekolah SMP dan SD) dan lahan-lahan pontesial masyarakat adat, dan juga padang ternak.

Menurut Philipus, jika sejak awal proses rencana pembangunan waduk Lambo masyarakat adat pemilik lahan tidak dilibatkan secara penuh dan tidak ada transparansi antara pihak pemerintah (BWS Nusa Tenggara II) dengan masyarakat adat, sehingga terjadi perlawanan dari masyarakat adat.

“Sangat tidak benar kalau pemerintah mengabaikan hak-hak konstitusi masyarakat adat yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 (B) ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945. Pemerintah dan BWS Nusra II juga telah melanggar hak-hak asasi manusia dari rativikasi ekososbud tentang hak-hak masyarakat adat internasional,” kata Philipus.

“Jadi menurut hemat saya, Kepala BWS Nusa Tenggara II diduga tidak aspiratif dan tidak menghormati hak-hak masyarakat adat dan juga tidak menghiraukan pernyataan Menteri PUPR tersebut,” tambah Philipus.

Sebagai Ketua AMAN Nusa Bunga, Philipus meminta pemerintah pusat dan ingga daerah, kepolisian dan stakeholder lainnya untuk menemukan solusi dan jalan yang terbaik dalam mengatasi masalah tersebut. “Mari kita menjaga adat istiadat dan seluruh kekayaan yang ada sebagai kekuatan dan potensi daerah yang harus dijaga, dilindungi dan dihormati agar karakter daerah dan bangsa ini tetap dalam satu Bhineka Tunggal Ika, walau kita berbeda beda tapi tetap satu,” tutupnya. (rnc16)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *