SoE, RNC – Hari sudah siang, meski matahari masih tersipu di balik awan. Mobil yang membawa saya bersama tim dari Yayasan Berbagi Kasih, Rabu (7/7/2021), berhenti di depan tiga buah rumah berjejeran. Di halaman salah satu rumah, tampak seorang perempuan berdiri bersama anaknya, menatap kami dengan wajah kebingungan.
Kami bergegas turun dan menghampiri mereka. Beberapa orang keluarga wanita itu keluar menyambut kami. Mereka juga tampak kebingungan. Maklum, kami tidak membuat janji untuk datang ke sana. Kami lalu memberi salam, meski tak bisa berjabatan tangan karena suasana pandemi covid-19.
Wanita yang berdiri bersama anaknya, dia adalah tujuan kami berkunjung. Wanita itu bernama Ose Marice Taneo. Rice, begitulah ia biasa disapa oleh keluarganya, adalah seorang penyandang disabilitas di Desa Toineke, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Tak berselang lama, ayah Rice, Edi L. Taneo, keluar menemui kami. Meski sudah memasuki usia senja, Edi masih bisa diajak bercakap. Dari Edi, kami tahu kalau Rice merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Dari semua anaknya, hanya Rice yang mengalami hambatan intelektual. Rice bisa diajak berbicara, meski terkadang jawabannya berbeda-beda untuk pertanyaan yang sama.
Meski anaknya mengalami hambatan, Edi mengaku tidak pernah merasa malu. Rasa cinta dan sayang pada sang anak tak pernah berkurang. Edi dengan tulus merawat anaknya itu.
Mirisnya, kasih sayang Edi pada sang anak berbanding terbalik dengan perlakuan beberapa orang tak bermoral. Hambatan yang dialami Rice, rupanya dimanfaatkan oleh beberapa orang yang tak diketahui, untuk melampiaskan nafsu birahi.
Perbuatan tak terpuji itu dilakukan berulang kali hingga akhirnya Rice hamil. Kini Rice telah memiliki enam orang anak dari perlakuan tak senonoh yang dialaminya.
Kepada RakyatNTT.com, Edi mengatakan, keluarga tidak bisa meminta pertanggungjawaban laki-laki yang telah menghamili Rice, lantaran Rice tidak bisa menyampaikan dengan jelas siapa yang telah menodainya. Rice hanya mengaku dinodai saat mengambil kayu bakar atau mengambil air. Sebab sebelum tahun 2015, sambung Edi, untuk mendapatkan air bersih, mereka harus berjalan menelusuri hutan sejauh 3 kilometer. Meski punya hambatan intelektual, Rice tetap melakukan aktivitas itu setiap hari untuk membantu orang tuanya.
Setelah mengetahui anaknya hamil, tak banyak yang bisa dilakukan Edi. Dia hanya pasrah dan tetap mengurus Rice. “Kita mau bertindak juga dia punya bahasa begitu (selalu berubah-ubah). Takutnya kita laporkan lalu orang menyalahi kita,” kata Edi.
Edi tetap menekuni pekerjaannya sebagai seorang petani lahan kering. Dia bekerja keras, membanting tulang demi menafkahi anak dan cucu-cucunya. Selain Edi, anak-anaknya yang lain pun turun membantu biaya hidup Rice.
Rice memiliki enam orang anak dari ayah yang tak diketahui. Satu diantaranya telah meninggal pada 2017 lalu. Lima anak memiliki hambatan berjalan dan hanya satu anak saja yang non disabilitas.
Untuk membantu Edi dalam menafkahi Rice dan anak-anaknya, salah satu saudara Rice, Maskurin Taneo yang tinggal bersebelahan rumah dengan sang ayah, mengelola sebuah kios kecil untuk membantu biaya hidup mereka. Sayangnya, kios itu tidak berkembang lantaran terkena imbas badai Seroja yang menghantam daerah itu.
Pada April 2021 lalu, saat mengantarkan bantuan badai Seroja dari KitaBisa kepada warga Desa Toineke, Tim Yayasan Berbagi Kasih, menyempatkan diri bertemu dengan Rice beserta keluarganya. Dari situlah, tim Yayasan Berbagi Kasih melalui Ketua Yayasan, Erna Manafe yang saat ini berada di Jawa, menyampaikan kondisi Rice kepada tim KitaBisa.
KitaBisa kemudian memberikan bantuan warung sembako kepada Rice. Melihat tim Yayasan Berbagi Kasih mengunjungi mereka yang kedua kali, Edi merasa bahagia. Ia mengaku, selama ini anaknya tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah.
“Ini pertama kali dia (Rice) dapat bantuan. Anak-anaknya juga punya hambatan tapi tidak ada perhatian dari pemerintah,” ujar Edi.
Edi berterima kepada orang-orang baik yang telah memberikan donasi melalui KitaBisa. Ia juga berterima kasih kepada Yayasan Berbagi Kasih yang membuka jalan sehingga kondisi anaknya bisa diperhatikan.
“Inilah kondisi kami, tidak ada yang bisa kami berikan sebagai balasan. Kami hanya bisa berdoa semoga Tuhan yang membalas semua kebaikan yang kami dapatkan,” ungkap Edi kepada tim Yayasan Berbagi Kasih.
Sekretaris Yayasan Berbagi Kasih, Arwadi Asbanu yang mewakili Ketua Yayasan menyerahkan bantuan itu mengaku pihaknya sudah dua kali mengunjungi Rice dan keluarganya. Pada kunjungan pertama, mereka banyak mendengar cerita pilu dari ayah Rice tentang kehidupan dan perlakuan yang dialami Rice.
“Kita kebetulan bergerak pada aksi-aksi sosial kemanusiaan. Saat mendengar kisahnya, kami berupaya untuk bisa membantunya,” ujar Arwadi.
Ia menuturkan, dalam kunjungan yang kedua ini, mereka membawa sejumlah barang untuk modal usaha, seperti beras, kopi, gula pasir, minyak goreng, garam serta beberapa bahan kebutuhan rumah tangga. Bantuan tersebut nantinya akan dikelola oleh saudara Rice dan ayahnya.
Ia berharap, bantuan warung sembako itu bisa dikelola dengan baik sehingga bisa bermanfaat bagi kehidupan Rice dan anak-anaknya.
“Kita sudah sampaikan ke keluarga, warung sembako ini harus dikelola dengan baik untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup Rice dan anak-anaknya. Kami juga akan membantu mereka, mengawasi sehingga usaha ini tetap berlanjut,” jelasnya.
Saat ini, kata Arwadi, mereka berusaha untuk mengumpulkan donasi dari orang-orang baik yang peduli terhadap kondisi Rice guna membangun rumah yang layak bagi mereka.
“Kembali dari sini, kita akan buka donasi lagi untuk membangun rumah yang layak bagi mereka,” ujar Arwadi.
Saat ini, Rice hidup bersama empat orang buah hatinya. Sementara satu orang lainnya yang non disabilitas tinggal bersama saudara Rice di Sumba. Empat orang buah hati Rice itu juga punya hambatan yang sama dengannya. Mereka tak pernah merasakan pendidikan, meski dua orang anaknya sudah berusia remaja. (rnc21)