Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator TPDI dan Advokat Peradi
BUPATI Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas telah mengklarifikasi perannya dalam rencana pendirian Pabrik Semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Matim oleh PT. Singa Merah dan PT. Istindo Mitra Manggarai.
Beberapa poin fakta yang diakui Bupati Agas Andreas adalah perannya memberikan izin lokasi, memfasilitasi warga Luwuk dan Lingko Lolok untuk bertemu dengan pihak PT. Singa Merah dan PT. Istindo Mitra Manggarai dalam jual-beli tanah untuk lokasi tambang semen.
Klarifikasi Bupati Agas sebagai representasi negara, terbukti tidak berpihak pada kepentingan warga Kampung Luwuk dan Lingko Lolok selaku pemilik tanah leluhur, selaku pemangku adat istiadat beserta hak-hak tradisional yang oleh konstitusi diwajibkan untuk dihormati, diakui dan dilindungi negara.
Bupati Agas Andreas mengakui telah mengeluarkan izin lokasi dan mengakui urusan IUP PT. Singa Merah di Luwuk dan Lingko Lolok itu menjadi wewenang provinsi bukan urusan bupati, kecuali soal jual beli tanah Agas berperan sebagai bupati dan sebagai keluarga fifty-fifty agar pihak yang menjual tidak dirugikan oleh pembeli (peran makelar dan nepotisme).
Terdapat nuansa dimana Bupati Agas Andreas hendak mencuci tangan dan bersembunyi di balik kewenangan memberi IUP dengan alasan ada di tangan Gubernur NTT, maka soal pabrik semen dan segala dampak buruknya bukanlah tanggung jawab Bupati Agas tetapi tanggung jawab Gubernur NTT.
Modus operandi Bupati Agas dalam berkelit mencuci tangan seakan-akan hanya menjadi juru selamat buat warganya untuk melepaskan hak atas dengan harga Rp 12.000 per M2. Inilah yang disebut praktek politik Burung Unta yang diperankan oleh Bupati Agas Andreas, yang hendak mencuci tangan dengan sembunyi muka dari urusan beraroma KKN yang mengorbankan harga diri warganya.
Punahnya Hak-hak Tradisional
Padahal Bupati Agas seharusnya mempersulit terjadinya jual-beli tanah dalam jumlah 500-an Ha yang dihuni oleh sebagian besar warga 1 (satu) Desa secara turun temurun, yang melekat hukum adat dan hak-hak tradiaional sebagai ekosistem kebudayaan yang wajib dilindungi, karena menjual tanah satu desa itu sama dengan membumihanguskan eksosistem kebudayaan masyarakat satu desa.
Yang disayangkan adalah Bupati Agas hanya mengumbar perannya agar terjadi jual-beli tanah, dimana Bupati memfasilitaai supaya warganya tidak dirugikan. Itu artinya Bupati Agas mempertegas peran makelar atau calo tanah, dimana Bupati Agas telah bertindak merendahkan wibawa pemerintah yang seharusnya melindungi warganya malahan membiarkan warganya terjerat hutang DP Rp 10 juta dari PT. Singa Merah untuk sesuatu yang terancam batal.
Dengan perilaku makelar atau calo, tanpa peran mengayomi warganya dari praktek penjeratan hutang atau ijonisasi bahkan relokasi desa sekaligus punahnya hak-hak tradisional warga, maka cepat atau lambat Bupati Agas akan menghadapi krisis kepercayaan publik, tidak saja dari warga masyarakatnya tetapi juga dari Pemerintah Pusat (di-impeachment), karena tambang semen tidak termasuk kepentingan umum.
Asas-Asas penyelenggaraan negara, tidak nampak sedikit pun dalam perilaku Bupati Agas, ketika memberi ruang selebar-lebarnya bagi PT. Singa Merah untuk meperdaya dan menjerat warganya. Bupati Agas malah dengan bangga katakan bahwa warga datang bertemu Bupati sudah membawa surat kesepakatan jual-beli sehingga Bupati hanya menjaga agar warganya tidak dirugikan padahal warganya sudah dirugikan. (*)