Buntut Larangan Meliput, PWI dan AJI Bereaksi

Kupangdibaca 393 kali

 

Kupang, RNC – Larangan disertai ancaman oleh oknum polisi kepada sejumlah wartawan, yang ingin meliput rekonstruksi kasus pembunuhan, akhirnya berbuntut. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi NTT dan Alinasi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Kupang, mengecam tindakan aparat yang dinilai berlebihan itu.

Berikut pernyataan sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi NTT, terkait larangan dan ancaman oleh oknum polisi di Kupang.

Sehubungan dengan kejadian larangan dan ancaman kepada wartawan, termasuk wartawan Pos Kupang, oleh oknum polisi, saat meliput kegiatan rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid Manafe dan Lael, pada Selasa (21/12/2021), di Kota Kupang, maka PWI Provinsi NTT menyatakan sikap:

1. Menyesalkan segala bentuk dan upaya tindakan oknum polisi yang melarang dan mengancam wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik.

2. Mengingatkan kepada semua pihak yang terkait, bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

3. Menghalang-halangi wartawan yang sedang bertugas, selain merupakan tindak pidana yang dilarang oleh UU Pers, hal itu juga merupakan pelanggaran berat terhadap asas-asas demokrasi dalam suatu negara.

4. Mengharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang.

5. Apresiasi kepada pihak Polda NTT yang secara terbuka telah menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut, oleh Kabid Humas Polda NTT melalui Podcast Tribunnews/Pos Kupang.

Demikian pernyataan sikap PWI Provinsi NTT, dalam rilisnya yang diterima RakyatNTT.com, pada Selasa (21/12/2021). Rilis PWI NTT itu dikirimkan Hilarius F. Jahang selaku ketua, dan Zacky W. Fagih, sebagai sekretaris.

Sementara AJI Kota Kupang dalam pernyataan sikapnya menulis, beredar video viral larangan serta ancaman terhadap wartawan Pos Kupang, oleh oknum anggota Polda NTT, saat menjalankan tugas jurnalistik, rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid (30) dan Lael (1) di Kota Kupang, NTT, di salah satu tempat jualan kelapa di Kelurahan Penkase, Kota Kupang.

Di situ, oknum polisi menanyakan alasan wartawan itu merekam. “Ini siapa? Darimana?” lalu dijawab Irfan, “Dari Pos Kupang”. Polisi itu pun melarang untuk tidak merekam. “Jangan merekam!”

Setelah itu, dia meminta kepada anggota untuk mengecek, apakah wartawan itu merekam, jika merekam, maka sita handphonenya. “Anggota dicek, kalau rekam handphone ambil”.

Larangan dan ancaman oknum polisi ini, dinilai sebagai upaya-upaya menghalang-halangi kerja pers, seperti yang diamanatkan pasal 4 UU Pers No 40 Tahun 1999, yang menyebutkan;
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Penjabaran ini dipertegas lagi pada Pasal 18 yang menyebutkan;
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan sesuai ketentuan pasal 4 ayat 2 dan 3, dipidana dengan pidana penjara paling lambat 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta.

Atas dasar itu, maka AJI Kota Kupang, menyatakan sikap:

1. Menyesalkan tindakan oknum anggota kepolisian daerah (Polda) NTT yang melarang dan mengancam wartawan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.

2. Meminta Kapolda NTT untuk memberikan sanksi bagi oknum polisi yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik.

3. Mendesak oknum anggota polisi itu meminta maaf secara terbuka ke publik.

4. Jika tuntutan ini tidak diindahkan dalam waktu 2×24 jam, maka AJI Kota Kupang akan membawa masalah ini ke Mabes Polri.

Rilis AJI Kota Kupang itu dikirimkan Jhon Seo selaku ketua, dan Marthen Bana dari Divisi Advokasi. (*/rnc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *